1.
Pengertian Filsafat Naturalisme
Sebelum membahas lebih
jauh tentang salah satu jenis filsafat ini, yaitu filsafat naturalisme, ada
sebuah kutipan yang mengantarkan pada sebuah pemahaman tentang sebab munculnya
filsafat. Dalam buku Tafsir dikutip dari bukunya Hatta, Alam Pikiran Yunani
(2012 : 14), yaitu sebagai berikut :
“Tiap bangsa betapapun
biadabnya, mempunyai dongeng takhayul. Ada yang terjadi dari kisah perintang
hari, keluar dari mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi dari
muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbul dari
keajaiban alam yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang menyangka
alam ini penuh oleh dewa-dewa. Lama-kelamaaan timbul berbagai fantasi. Dengan
fantasi itu manusia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Orang yang
membuat fantasi itu tidak ingin membuktikan kebenaran fantasinya karena
kesenangan ruhnya terletak pada fantasinya itu. Tetapi kemudian ada orang yang
ingin mengetahuinya lebih jauh. Diantaranya ada orang yang tidak percaya, ada
yang bersifat kritis, lama-kalamaan timbul keinginan pada kebenaran.
….”
Dari kutipan tersebut,
penulis menyimpulkan bahwa asal-muasal munculnya filsafat dari pemikiran kritis
manusia terhadap cerita, kejadian yang dialami, atau alam sekitarnya. Pemikiran
tersebut berbeda-beda tiap manusia sehingga tercipta muara-muara pemikiran yang
berbeda-beda pula. Ada pemikiran yang bermuara pada ketuhanan “God sense”
sehingga jawaban-jawaban atas pikiran kritis yang muncul mengacu pada kebenaran
yang bersumber pada Tuhan. Ada pula pemikiran yang bermuara pada Earth centered
atau berpatokan pada alam, sehingga sesuatu yang berasal dari alam atau yang
sifatnya alami itu dianggap baik. Selain itu, ada pula pemikiran yang bermuara
pada Man-centered, beranggapan bahwa sesuatu yang baik itu berdasarkan
pengalaman yang sudah dialami atau suatu akibat. Berdasarkan muara-muara
pemikiran tersebut, munculah berbagai aliran filsafat yang berpengaruh terhadap
cara pandang penganutnya serta berkontribusi besar terhadap gaya hidup serta
prinsip hidupnya. Salah satu aliran filsafat tersebut adalah “Filsafat
Naturalis” yang berada di area Earth centered.
Naturalisme mempunyai
beberapa pengertian, yaitu dari segi bahasa, Naturalisme berasal dari dua kata,
“Natural” artinya “Alami” dan “Isme” artinya “Paham”. Aliran naturalisme dapat
juga disebut sebagai “Paham Alami”. Maksudnya, bahwa setiap manusia yang
terlahir ke bumi ini pada dasarnya memiliki kecenderungan atau pembawaan yang
baik dan tak ada seorangpun terlahir dengan pembawaan yang buruk.
Naturalisme merupakan
teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah
“nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari
dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu. Naturaadalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh
sains alam. Istilah naturalisme adalah kebalikan dari istilah supernaturalisme
yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang
ada (wujud) di atas atau di luar alam (Titus dalam makalah Ahmad, 2012).
Naturalisme lahir pada
abad ke-17 dan mengalami perkembangan pada abad ke-18. Naturalisme berkembang
dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa “Learned heavily on the
knowledge reported by man’s sense” (pembelajaran yang hebat dalam ilmu
pengetahuan berasal dari akal pikiran manusia). Aliran ini dipelopori oleh J.J
Rosseau, filsuf Perancis yang hidup pada tahun 1712-1778. Rosseau berpendapat
bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Pembawaan baik akan
menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang
dewasa, justru dapat merusak pembawaan baik anak itu, sehingga aliran ini
sering disebut negativisme.
Selain Rosseau, ada
juga Plato dan Aristoteles yang menganut paham yang sama. Plato berpandangan
(Tafsir, 2012 : 58-59) bahwa ajaran idea yang lepas dari objek, yang berada di
alam idea, bukan hasil abstraksi. Idea itu umum, berarti berlaku umum. Dia
berpendapat bahwa selain kebenaran yang umum itu ada kebenaran yang khusus,
yaitu “kongkretisasi” idea di alam ini. Contoh, “kucing” di alam idea berlaku
umum atau kebenaran umum, sedangkan “kucing hitam di rumah saya” adalah kucing
yang khusus.
Tokoh lain adalah
Aristoteles. Ia termasuk tokoh filsafat yang rasional. Pemikiran filsafatnya
lebih maju karena dasar-dasar sains diletakkan. Ia berpendapat bahwa makhluk
hidup di dunia ini terdiri atas dua prinsip, yaitu prinsip matter dan form. Matter
memberikan substansi sesuatu, sedangkanform memberikan pembungkusnya.
Form disebut juga
materi yaitu badan, sedangkan matter disebut juga rohani. Badan material
manusia pasti mati, sedangkan yang memberikan bentuk kepada materi adalah jiwa.
Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif
(seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa
binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif
manusia mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani,
maka Aristoteles membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal
budi yang aktif. Bagian akal budi yang pasif berhubungan dengan materi, dan
bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan rohani. Mayer dalam Tafsir
(2012 : 61) memberikan contoh lainnya, kepercayaan pada Tuhan. Tuhan dicapai
dengan akal, tetapi ia percaya pada Tuhan. Tuhan itu menurut Aristoteles
berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan (tidak mempedulikan)
dengan alam ini. Ia bukan persona.
Berdasarkan beberapa
pandangan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa filsafat aliran naturalisme ini
begitu menjunjung tinggi alam sebagai sarana utama dalam kehidupan manusia,
bahkan Tuhan pun diyakini tidak ada hubungannya atau tidak peduli dengan alam.
Landasan kebenaran berpatokan pada pemikiran ilmiah yang dapat dibuktikan
kebenarannya secara nyata.
2.
Implikasi Filsafat Naturalisme dalam
Pendidikan
Berbagai aliran
filsafat ini memengaruhi berbagai bidang dalam kehidupan termasuk bidang
pendidikan. Pendidikan merupakan wadah yang memiliki peranan penting dalam
pembentukan karakter seseorang, baik pendidikan dalam lingkungan keluarga
maupun lingkungan pendidikan formal.
Adapun naturalisme
dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang
anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi penganut paham
naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan dilaksanakan.
Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran filsafat naturalisme
karena belajar merupakan sesuatu yang natural. Paham naturalisme memandang guru
tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.
Spencer (Wakhudin dalam
makalah Ahmad, 2012) juga menjelaskan tujuh prinsip dalam proses pendidikan
beraliran naturalisme, adalah:
1. Pendidikan harus
menyesuaikan diri dengan alam;
2. Proses pendidikan
harus menyenangkan bagi anak didik;
3. Pendidikan harus
berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak;
4. Memperbanyak ilmu
pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan;
5. Pendidikan
dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak;
6. Praktik mengajar
adalah seni menunda;
7. Metode instruksi
dalam mendidik menggunakan cara induktif; (hukuman
dijatuhkan sebagai
konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun
dilakukan hukuman, hal
itu harus dilakukan secara simpatik).
Naturalisme
memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M.Arifin dan Aminuddin R.
dalam makalah Ahmad, 2012), yaitu :
1.
Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi
antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan pengalaman di dalam dirinya
secara alami.
2.
Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik
berperan sebagai fasilitator, menyediakan lingkungan yang mampu mendorong
keberanian anak ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan
untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Serta memberikan tanggung
jawab belajar pada diri anak didik sendiri.
3. Program pendidikan
di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan
lingkungan belajar yang beorientasi pada pola belajar anak didik. Anak didik diberi kesempatan menciptalan
lingkungan belajarnya sendiri.
Dengan demikian, aliran
naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat
paedosentris, artinya, faktor kemampuan anak didik menjadi pusat kegiatan
proses belajar dan mengajar. Nampaknya, paham aliran naturalis, saat ini
diterapkan dalam kurikulum baru yang sedang digulirkan oleh pemerintah, yaitu
kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013 ini proses pendekatan proses pembelajaran
berupa pendekatan saintifik. Intinya, pendekatan tersebut menitikberatkan pada
penggalian potensi-potensi siswa atau dikenal dengan istilah student centered,
namun tanpa mengabaikan landasan utama pendidikan yaitu prinsip religius. Peran
guru selama proses pembelajaran hanya sebagai pembimbing, fasilitator, dan
motivator bagi siswa. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat terbentuk
generasi-generasi berakhlak baik, aktif sebagai pelopor, dan kreatif dalam
menciptakan inovasi-inovasi.
Sebelum
terlahir kurikulum baru, prinsip naturalis ini sebetulnya sudah berimplikasi
dalam pendidikan, namun hanya sebatas pendidikan di luar negeri. Seperti halnya
Bobby The Potter yang mencetuskan model pendidikan Quantum Learning. Ia
menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas
mengeksplorasi apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru
menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan
problem yang ditemukan di alam. Model pendidikan seperti itu sangat cocok
diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada khususnya.
REFERENSI :
Barnadib, Imam. 1997. Filsafat
Pendidikan, Sistem, dan Metode. Yogyakarta : Andi Offest.
Tafsir, Ahmad. 2012. Filsafat Umum Akal
dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : Rosda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar