Senin, 26 Desember 2016

‘’Mister Filsafat Agama, Ilmu Kalam, Tahkim, Tauhid, Usuludin’’


Sebagai pembuka dalam artikel ini, pertanyaan pertama yang perlu diajukan di sini—tentu saja—adalah, apa manfaat yang bisa kita petik dari mempelajarinya? Kenapa kita perlu mendalami tema-tema yang terdapat dalam ilmu kalam? Masih relevankah mempelajari ilmu kalam dalam abad modern ini?
 Namun sebelum mencoba menjawab pertanyaan utama di atas, sekilas perlu terlebih-dahulu diperjelas makna ilmu kalam itu sendiri. Secara etimologi (kebahasaan) “kalam” berarti diskusi, justifikasi, atau debat. Dengan demikian ilmu kalam dapat diartikan sebagai “seni dalam berdebat”. Apa yang diperdebatkan? Dalam konteks ini adalah berbagai persoalan yang berkaitan dengan Tuhan—meliputi sifat-sifat Nya, kekuasaan Nya, hingga orang-orang pilihan Nya (kenabian ataupun kekhalifahan dan imam) dan status keabadian Al-Qur’an dan lainnya. Seni berdebat itu sendiri dapat diartikan sebagai seni meyakinkan orang banyak (umat) untuk mengamini pendapatnya dan merebut simpati mereka. Al Iji mengartikan ilmu kalam ini sebagai “seni” yang memungkinkan seseorang untuk membuktikan kebenaran doktrin religiusnya lewat argumen-argumen dan menyingkirkan keraguan yang terdapat pada lawan bicaranya.
Perkembangan ilmu kalam pada awalnya tidak terlepas dari kebiasaan bangsa Arab dalam mengagumi seni bertutur-kata—baik dalam bentuk prosa ataupun puisi—dan mengagungkan para penyair tersebut. Begitulah, menurut Badri Yatim, dalam masyarakat Arab pra-Islam telah terdapat tradisi oral memperingati ‘ayam al ‘arab (dramatisasi peristiw a-peristiwa penting yang melibatkan suatu kaum) dan al anshab (membangga-banggakan keturunan atau silisah) dalam bentuk prosa dan puisi yang mampu membangkitkan semangat kesukuan dan kebanggaan akan keturunannya di atas kelompok atau suku lainnya. Pada bab berikutnya kita akan melihat bagaimana kemampuan berdebat dan menarik simpati orang banyak seperti ini, telah “memecah-belah” umat Islam (yang tadinya satu komando di bawah Nabi Muhammad) ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan dan bahkan saling mengkafirkan satu sama lain.
Di bawah ini penulis akan mencoba untuk terlebih-dahulu menjelaskan urgensi ilmu kalam pada awal kemunculannya—yang berbau politis—dan dalam perkembangannya yang lebih bersifat akademis. Baru setelah itu kita bisa merelevansikannya dengan kebutuhan manusia modern akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya, tentunya setelah memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan yang lebih sesuai dengan tuntutan dan semangat zaman modern.
Urgensi Politis
Di atas penulis telah sedikit banyak menjelaskan arti ilmu kalam sebagai “seni berdebat” perihal masalah-masalah ketuhanan. Pertanyaan yang segera mengikuti mestilah, darimana gerangan nama tersebut berasal? Kenapa bukan sekalian saja dinamakan ilmu tauhid (teologi) atau ushuluddin? Ternyata istilah ilmu kalam ini berasal dari kelompok “tradisionalis Islam” dalam mengamati fenomena perpecahan politik paska arbitrase (tahkim) Ali dan Mu’awiyah, yang menggiring kepada pertentangan teologis lewat penuturan kata yang sama-sama mempesona dan meyakinkan. Begitupun istilah “ilmu” di sini lebih tepat diartikan sebagai “seni” –alih-alih sebagai metode ilmiah—sebab memang pada saat itu belum lagi terdapat metode-metode ataupun kaidah-kaidah keilmuan yang diterima secara umum (berlaku secara universal), dalam rangka menghasilkan suatu kesimpulan yang valid. Pada tulisan yang lain kita akan membahas bagaimana Mu’tazilah pada abad ke 2 Hijiriah menjadi aliran ilmu kalam pertama yang benar-benar pantas dikatakan sebagai Ilmu alih-alih sekadar seni beretorika atau justifikasi belaka.
Sebenarnya ilmu kalam, dalam artian ilmu tauhid dan ushuluddin, bermula jauh sebelum peristiwa arbitrase Ali-Mu’awiyah pada tahun 30 H. Tepatnya sejak masa awal dakwah Nabi sendiri (periode Mekah) yang banyak menyerukan kepada ketuhanan yang maha esa (tauhid) di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang pagan. Begitupun dengan konsep kenabian dan kitab suci (Al-Qur’an) itu sendiri yang merupakan pokok pembahasan ilmu kalam. Perbedaannya adalah, bila pada masa Nabi ilmu kalam (atau lebih tepatnya ilmu tauhid) menjadi faktor utama pemersatu ummat (ukhuwwah islamiyyah), maka paska arbitrase ilmu kalam justru mendorong kepada perpecahan dalam tubuh ummat. Disinilah letak urgensi politis ilmu kalam sebagai pemersatu ummat dan di sisi lain sebagai pemicu perpecahan dalam tubuh ummat yang gemanya masih saja bergaung hingga hari ini (antara Sunni-Syiah, hingga Ahmadiah dan terbaru ISIS).
Sebagaimana telah diketahui bersama, dalam peristiwa tahkim (yang memicu kelahiran ilmu kalam) kubu Mu’awiyyah dalam perang Shiffin telah mengangkat “bendera putih” dan meminta solusi perdamaian. Kubu Ali yang mengkehendaki persatuan dalam ummat Islam tentu mengamini ajakan tersebut. Pada awalnya Ali hendak mengirim Abdullah Ibn Abbas sebagai juru rundingnya, namun ditentang oleh kelompok Ali sendiri yang mengkehendaki Abu Musa Al-Asy’ari yang dianggap lebih soleh dan dapat memutus perkara berdasarkan hukum Allah. Hasil perundingan tersebut, tentu saja, hilangnya legitimasi kekuasaan Ali—yang sebelumnya telah dibaiat oleh perwakilan ummat sebagai khalifah yang sah pengganti Usman)—dan diangkatnya Mu’awiyyah menjadi khalifah yang baru, berkat kecerdikan juru rundingnya Amr bin Ash. Begitulah kemudian lahir aliran-aliran dalam ilmu kalam: Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah.
Tapi tidak berhenti sampai disitu. Pada abad ke 2 H aliran ilmu kalam lainnya, Mu’tazilah, membuat skandal yang tak kalah memilukan ketika memutuskan untuk menangkapi dan bahkan menghukum mati para ulama dan mutakallimin yang bertentangan pandangan teologisnya, atas dukungan penguasa Abbasiah Khalifah Al Ma’mun ketika itu. Sebuah momen historis yang amat tragis sehingga dijuluki Mihnah kedua setelah pembunuhan Khalifah Usman Ibn Affan. Kita akan kembali lagi membahas perihal aliran-aliran ilmu kalam ini (Khawarij, Murji’ah, Syiah dan Mu’tazilah) di tulisan yang lain.
Urgensi Akademis
Sementara dari sisi akademis, ilmu kalam juga memegang peranan yang amat fundamental bagi perkembangan ilmu-ilmu lainnya dalam epistemologi Islam—baik ilmu naqli ataupun aqli. Ibn Khaldun (w. 1406 M) dalam Mukaddimah karyanya yang monumental, Kitab Al-‘Ibar, mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori: al ‘Ulum al Naqliyah dan Aqliyah. Ilmu-ilmu naqliyah mengetengahkan enam bidang ilmu agama, meliputi, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, Fiqh dan Ushul fiqh, ilmu kalam, tasawuf, dan tabir mimpi. Akan halnya ilmu-ilmu rasional dibagi menjadi dua, ilmu teoritis dan praktis: Ilmu praktis meliputi etika, ekonomi dan politik. Sedang ilmu teoritis mencakup ilmu-ilmu fisika (meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran, psikologi), matematika (meliputi aritmatika, geometri, aljabar, musik, astronomi dan teknik), dan metafisika. Termasuk ke dalam cabang metafisika ini adalah ontologi, epistemologi, teologi, kosmologi, antropologi dan terakhir eskatologi. Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan di bawah:
(Bagan)
Perhatikan bagan di atas, ilmu kalam masuk dalam kedua kategori naqliyah dan aqliyah—hanya namanya saja yang berbeda. Bila di ilmu naqliyyah namanya ilmu kalam, sedang di aqliyyah disebut dengan teologi. Istilah teologi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, theos dan logos, yang berarti ilmu tentang tuhan (ketuhanan). Apa maksudnya hal ini? Dimana letak perbedaan di antara keduanya? Dan kenapa mesti dibedakan antara ilmu kalam dan teologi?
Jawaban atas rentetan pertanyaan di atas sebenarnya cukup mudah. Sebab Tuhan memang bisa “dibuktikan” bukan saja lewat dalil naqli tapi juga aqli. Dan karena sifatnya yang seperti ini maka tak mengherankan bila ilmu kalam terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman (jiwa zaman, zeitgeist) dan keilmuannya.
Tidak hanya itu, bila diperhatikan secara lebih seksama, baik ilmu kalam ataupun teologi merupakan dasar atau pijakan bagi perkembangan ilmu-ilmu lainnya. Dalam klasifikasi ilmu naqli, ilmu kalam biasa disebut juga dengan ilmu ushuluddin atau dasar-dasar agama bagi berbagai persoalan furu’uddin yang meliputi fiqh dan ushul fiqh. Sedang dalam klasifikasi ilmu aqliyah, teologi masuk ke dalam kategori ilmu metafisika bersamaan dengan ontologi dan epistemologi. Sebagaimana telah penulis jelaskan dalam tulisan yang lain, bangunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan layaknya sebuah rumah dimana ontologi dan epistemologi (termasuk di dalamnya teologi, dimana Tuhan merupakan sumber wujud itu sendiri) merupakan fondasi rumah tersebut. Begitu kentalnya unsur-unsur ketuhanan dalam filsafat Islam sampai-sampai disebut dengan “teosofi” alih-alih filosofi (filsafat).
Urgensi dalam Kehidupan Sehari-hari
Akhirnya kita sampai pada pokok persoalan dalam makalah ini, perihal urgensi ilmu kalam dalam kehidupan sehari-hari: apa manfaat yang bisa dipetik dari mempelajari ilmu kalam? Dimana letak relevansi dari mempelajari ilmu kalam (yang notabene merupakan ilmu
Islam abad klasik) dalam kehidupan yang serba modern ini?
Sebenarnya bila dicermati peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya ilmu kalam (sebagaimana telah dijelaskan di atas), maka dengan mudah kita akan menemukan jawabannya. Lebih dari sekadar persoalan politis, ternyata ilmu kalam lahir pertamakali sebagai respon kekecewaan umat atas praktek politik dan kepemimpinan Islam ketika itu. Kata kuncinya di sini adalah “kekecewaan”. Dari sini dapat dipahami kiranya urgensi ilmu kalam dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai “obat” atau “terapi” dalam menyembuhkan kekecewaan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang fana ini.
Ambil contoh, seseorang yang telah mengalami kekecewaan dan kegagalan berkali-kali dalam hidupnya, padahal ia merasa telah berusaha secara maksimal. Niscaya orang ini akan menemukan kedamaian dalam ajaran jabariah: bahwa manusia hanya bisa berusaha, namun jalannya takdir itu sendiri mutlak milik dan kekuasaan Allah SWT. Sebaliknya seseorang yang merasa “bosan” bergelut dalam “lumpur” kebodohan dan kemiskinan, maka ia akan mendapatkan suntikan motivasi yang luar biasa besarnya dalam ajaran qodariah: bahwa manusia diberikan kekuasaan oleh Allah SWT untuk menentukan jalan hidup dan takdirnya sendiri. Sebagaimana telah diketahui bersama, qodariah dan jabariah merupakan dua aliran ilmu kalam yang saling bertentangan sebelum kemudian akhirnya “didamaikan” dalam Asy’ariyah (Sunni) lewat teori kasb. Kita akan coba bahas lebih dalam persoalan ini dalam tulisan yang lain.
Tidak hanya itu, ilmu kalam juga memiliki kepentingan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mengancam eksistensi peradaban modern, seperti misalnya, krisis lingkungan. Tentang hal ini penulis telah menyelesaikan tesis master dengan judul The Islamic Environmental Ethics: A Study on Intrinsic Value of Nature According to the Theory of Oneness of Being of Transcendent Theosophy. Disini penulis dengan tegas menyatakan bahwa akar dari krisis lingkungan (dan berbagai krisis modernitas lainnya) adalah krisis dalam persepsi manusia modern (paradigma modern) yang mengenyampingkan peran Tuhan dalam kehidupan dunia dan sebagai implikasinya menghilangkan nilai sakral yang terkandung pada alam sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya (vestigia dei, ayatullah). Akibat dari krisis persepsi seperti ini maka alam pun dinilai melulu berdasarkan nilai ekonomisnya bagi manusia, sehingga sah-sah saja untuk “diperkosa” selama itu memiliki keuntungan (secara ekonomis) bagi manusia (pemilik modal).
Humanisme Barat seperti ini jelas bertentangan dengan humanisme Islam yang berdasarkan pada paradigma integral (baca, tauhid atau kesatuan antara wujud Tuhan-alam-manusia dalam suatu gradasi wujud). Dalam tulisan yang lain kita akan mencoba membahas permasalahan ini secara lebih mendalam.
Sebenarnya masih banyak lagi urgensi ilmu kalam dalam kehidupan sehari-hari, namun dua contoh di atas—dalam hemat penulis—telah mencukupi. Tentu saja setiap kita memiliki persoalan dalam kehidupan sehari-hari (yang tak jarang berujung pada “keluhan” dan bahkan “kutukan” pada Tuhan) sekaligus kritik terhadap peradaban modern yang dianggap merugikan atau bertentangan dengan hati nurani dan ajaran agama. Ilmu kalam membantu kita dalam menyikapi berbagai persoalan dan kekhawatiran tersebut, tidak secara praktis (karena memang ilmu kalam bukan ilmu praktis yang menuntut keterampilan) namun dengan cara “meluruskan” paradigma atau sudut-pandang keduniaan (worldview) kita sehingga sesuai dengan ajaran Islam dan tauhid. Harapannya, tentu saja, dengan pemahaman yang memadai perihal persoalan-persoalan dalam ilmu kalam, kita bisa mengambil tindakan yang sesuai; dan semoga saja kita juga terhindar dari pemahaman-pemahaman yang dangkal sehingga berujung pada berbagai aksi kekerasan dan teror yang mengatasnamakan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar