Sebagai pembuka dalam
artikel ini, pertanyaan pertama yang perlu diajukan di sini—tentu saja—adalah,
apa manfaat yang bisa kita petik dari mempelajarinya? Kenapa kita perlu
mendalami tema-tema yang terdapat dalam ilmu kalam? Masih relevankah
mempelajari ilmu kalam dalam abad modern ini?
Namun sebelum mencoba menjawab pertanyaan
utama di atas, sekilas perlu terlebih-dahulu diperjelas makna ilmu kalam itu
sendiri. Secara etimologi (kebahasaan) “kalam” berarti diskusi, justifikasi,
atau debat. Dengan demikian ilmu kalam dapat diartikan sebagai “seni dalam
berdebat”. Apa yang diperdebatkan? Dalam konteks ini adalah berbagai persoalan
yang berkaitan dengan Tuhan—meliputi sifat-sifat Nya, kekuasaan Nya, hingga
orang-orang pilihan Nya (kenabian ataupun kekhalifahan dan imam) dan status
keabadian Al-Qur’an dan lainnya. Seni berdebat itu sendiri dapat diartikan
sebagai seni meyakinkan orang banyak (umat) untuk mengamini pendapatnya dan
merebut simpati mereka. Al Iji mengartikan ilmu kalam ini sebagai “seni” yang
memungkinkan seseorang untuk membuktikan kebenaran doktrin religiusnya lewat
argumen-argumen dan menyingkirkan keraguan yang terdapat pada lawan bicaranya.
Perkembangan ilmu kalam
pada awalnya tidak terlepas dari kebiasaan bangsa Arab dalam mengagumi seni
bertutur-kata—baik dalam bentuk prosa ataupun puisi—dan mengagungkan para
penyair tersebut. Begitulah, menurut Badri Yatim, dalam masyarakat Arab
pra-Islam telah terdapat tradisi oral memperingati ‘ayam al ‘arab (dramatisasi
peristiw a-peristiwa penting yang melibatkan suatu kaum) dan al anshab
(membangga-banggakan keturunan atau silisah) dalam bentuk prosa dan puisi yang
mampu membangkitkan semangat kesukuan dan kebanggaan akan keturunannya di atas
kelompok atau suku lainnya. Pada bab berikutnya kita akan melihat bagaimana
kemampuan berdebat dan menarik simpati orang banyak seperti ini, telah
“memecah-belah” umat Islam (yang tadinya satu komando di bawah Nabi Muhammad)
ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan dan bahkan saling
mengkafirkan satu sama lain.
Di bawah ini penulis
akan mencoba untuk terlebih-dahulu menjelaskan urgensi ilmu kalam pada awal kemunculannya—yang
berbau politis—dan dalam perkembangannya yang lebih bersifat akademis. Baru
setelah itu kita bisa merelevansikannya dengan kebutuhan manusia modern akan
kehadiran Tuhan dalam hidupnya, tentunya setelah memenuhi
persyaratan-persyaratan keilmuan yang lebih sesuai dengan tuntutan dan semangat
zaman modern.
Urgensi Politis
Di atas penulis telah
sedikit banyak menjelaskan arti ilmu kalam sebagai “seni berdebat” perihal
masalah-masalah ketuhanan. Pertanyaan yang segera mengikuti mestilah, darimana
gerangan nama tersebut berasal? Kenapa bukan sekalian saja dinamakan ilmu
tauhid (teologi) atau ushuluddin? Ternyata istilah ilmu kalam ini berasal dari
kelompok “tradisionalis Islam” dalam mengamati fenomena perpecahan politik
paska arbitrase (tahkim) Ali dan Mu’awiyah, yang menggiring kepada pertentangan
teologis lewat penuturan kata yang sama-sama mempesona dan meyakinkan.
Begitupun istilah “ilmu” di sini lebih tepat diartikan sebagai “seni”
–alih-alih sebagai metode ilmiah—sebab memang pada saat itu belum lagi terdapat
metode-metode ataupun kaidah-kaidah keilmuan yang diterima secara umum (berlaku
secara universal), dalam rangka menghasilkan suatu kesimpulan yang valid. Pada
tulisan yang lain kita akan membahas bagaimana Mu’tazilah pada abad ke 2 Hijiriah
menjadi aliran ilmu kalam pertama yang benar-benar pantas dikatakan sebagai
Ilmu alih-alih sekadar seni beretorika atau justifikasi belaka.
Sebenarnya ilmu kalam,
dalam artian ilmu tauhid dan ushuluddin, bermula jauh sebelum peristiwa
arbitrase Ali-Mu’awiyah pada tahun 30 H. Tepatnya sejak masa awal dakwah Nabi
sendiri (periode Mekah) yang banyak menyerukan kepada ketuhanan yang maha esa
(tauhid) di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang pagan. Begitupun dengan
konsep kenabian dan kitab suci (Al-Qur’an) itu sendiri yang merupakan pokok
pembahasan ilmu kalam. Perbedaannya adalah, bila pada masa Nabi ilmu kalam
(atau lebih tepatnya ilmu tauhid) menjadi faktor utama pemersatu ummat
(ukhuwwah islamiyyah), maka paska arbitrase ilmu kalam justru mendorong kepada
perpecahan dalam tubuh ummat. Disinilah letak urgensi politis ilmu kalam
sebagai pemersatu ummat dan di sisi lain sebagai pemicu perpecahan dalam tubuh
ummat yang gemanya masih saja bergaung hingga hari ini (antara Sunni-Syiah,
hingga Ahmadiah dan terbaru ISIS).
Sebagaimana telah
diketahui bersama, dalam peristiwa tahkim (yang memicu kelahiran ilmu kalam)
kubu Mu’awiyyah dalam perang Shiffin telah mengangkat “bendera putih” dan
meminta solusi perdamaian. Kubu Ali yang mengkehendaki persatuan dalam ummat
Islam tentu mengamini ajakan tersebut. Pada awalnya Ali hendak mengirim
Abdullah Ibn Abbas sebagai juru rundingnya, namun ditentang oleh kelompok Ali
sendiri yang mengkehendaki Abu Musa Al-Asy’ari yang dianggap lebih soleh dan
dapat memutus perkara berdasarkan hukum Allah. Hasil perundingan tersebut,
tentu saja, hilangnya legitimasi kekuasaan Ali—yang sebelumnya telah dibaiat
oleh perwakilan ummat sebagai khalifah yang sah pengganti Usman)—dan
diangkatnya Mu’awiyyah menjadi khalifah yang baru, berkat kecerdikan juru
rundingnya Amr bin Ash. Begitulah kemudian lahir aliran-aliran dalam ilmu
kalam: Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah.
Tapi tidak berhenti
sampai disitu. Pada abad ke 2 H aliran ilmu kalam lainnya, Mu’tazilah, membuat
skandal yang tak kalah memilukan ketika memutuskan untuk menangkapi dan bahkan
menghukum mati para ulama dan mutakallimin yang bertentangan pandangan
teologisnya, atas dukungan penguasa Abbasiah Khalifah Al Ma’mun ketika itu.
Sebuah momen historis yang amat tragis sehingga dijuluki Mihnah kedua setelah
pembunuhan Khalifah Usman Ibn Affan. Kita akan kembali lagi membahas perihal
aliran-aliran ilmu kalam ini (Khawarij, Murji’ah, Syiah dan Mu’tazilah) di
tulisan yang lain.
Urgensi Akademis
Sementara dari sisi
akademis, ilmu kalam juga memegang peranan yang amat fundamental bagi
perkembangan ilmu-ilmu lainnya dalam epistemologi Islam—baik ilmu naqli ataupun
aqli. Ibn Khaldun (w. 1406 M) dalam Mukaddimah karyanya yang monumental, Kitab
Al-‘Ibar, mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori: al ‘Ulum
al Naqliyah dan Aqliyah. Ilmu-ilmu naqliyah mengetengahkan enam bidang ilmu
agama, meliputi, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, Fiqh dan Ushul fiqh, ilmu kalam,
tasawuf, dan tabir mimpi. Akan halnya ilmu-ilmu rasional dibagi menjadi dua,
ilmu teoritis dan praktis: Ilmu praktis meliputi etika, ekonomi dan politik.
Sedang ilmu teoritis mencakup ilmu-ilmu fisika (meliputi minerologi, botani,
zoologi, anatomi, kedokteran, psikologi), matematika (meliputi aritmatika,
geometri, aljabar, musik, astronomi dan teknik), dan metafisika. Termasuk ke
dalam cabang metafisika ini adalah ontologi, epistemologi, teologi, kosmologi,
antropologi dan terakhir eskatologi. Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan di
bawah:
(Bagan)
Perhatikan bagan di
atas, ilmu kalam masuk dalam kedua kategori naqliyah dan aqliyah—hanya namanya
saja yang berbeda. Bila di ilmu naqliyyah namanya ilmu kalam, sedang di
aqliyyah disebut dengan teologi. Istilah teologi itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani, theos dan logos, yang berarti ilmu tentang tuhan (ketuhanan).
Apa maksudnya hal ini? Dimana letak perbedaan di antara keduanya? Dan kenapa
mesti dibedakan antara ilmu kalam dan teologi?
Jawaban atas rentetan
pertanyaan di atas sebenarnya cukup mudah. Sebab Tuhan memang bisa “dibuktikan”
bukan saja lewat dalil naqli tapi juga aqli. Dan karena sifatnya yang seperti
ini maka tak mengherankan bila ilmu kalam terus mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman (jiwa zaman, zeitgeist) dan
keilmuannya.
Tidak hanya itu, bila
diperhatikan secara lebih seksama, baik ilmu kalam ataupun teologi merupakan
dasar atau pijakan bagi perkembangan ilmu-ilmu lainnya. Dalam klasifikasi ilmu
naqli, ilmu kalam biasa disebut juga dengan ilmu ushuluddin atau dasar-dasar
agama bagi berbagai persoalan furu’uddin yang meliputi fiqh dan ushul fiqh.
Sedang dalam klasifikasi ilmu aqliyah, teologi masuk ke dalam kategori ilmu
metafisika bersamaan dengan ontologi dan epistemologi. Sebagaimana telah
penulis jelaskan dalam tulisan yang lain, bangunan ilmu pengetahuan dapat
diibaratkan layaknya sebuah rumah dimana ontologi dan epistemologi (termasuk di
dalamnya teologi, dimana Tuhan merupakan sumber wujud itu sendiri) merupakan
fondasi rumah tersebut. Begitu kentalnya unsur-unsur ketuhanan dalam filsafat
Islam sampai-sampai disebut dengan “teosofi” alih-alih filosofi (filsafat).
Urgensi dalam Kehidupan Sehari-hari
Akhirnya kita sampai
pada pokok persoalan dalam makalah ini, perihal urgensi ilmu kalam dalam
kehidupan sehari-hari: apa manfaat yang bisa dipetik dari mempelajari ilmu
kalam? Dimana letak relevansi dari mempelajari ilmu kalam (yang notabene
merupakan ilmu
Islam abad klasik) dalam
kehidupan yang serba modern ini?
Sebenarnya bila dicermati peristiwa yang
melatarbelakangi lahirnya ilmu kalam (sebagaimana telah dijelaskan di atas),
maka dengan mudah kita akan menemukan jawabannya. Lebih dari sekadar persoalan
politis, ternyata ilmu kalam lahir pertamakali sebagai respon kekecewaan umat
atas praktek politik dan kepemimpinan Islam ketika itu. Kata kuncinya di sini
adalah “kekecewaan”. Dari sini dapat dipahami kiranya urgensi ilmu kalam dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai “obat” atau “terapi” dalam menyembuhkan
kekecewaan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang fana ini.
Ambil contoh, seseorang
yang telah mengalami kekecewaan dan kegagalan berkali-kali dalam hidupnya,
padahal ia merasa telah berusaha secara maksimal. Niscaya orang ini akan
menemukan kedamaian dalam ajaran jabariah: bahwa manusia hanya bisa berusaha,
namun jalannya takdir itu sendiri mutlak milik dan kekuasaan Allah SWT.
Sebaliknya seseorang yang merasa “bosan” bergelut dalam “lumpur” kebodohan dan
kemiskinan, maka ia akan mendapatkan suntikan motivasi yang luar biasa besarnya
dalam ajaran qodariah: bahwa manusia diberikan kekuasaan oleh Allah SWT untuk
menentukan jalan hidup dan takdirnya sendiri. Sebagaimana telah diketahui
bersama, qodariah dan jabariah merupakan dua aliran ilmu kalam yang saling
bertentangan sebelum kemudian akhirnya “didamaikan” dalam Asy’ariyah (Sunni)
lewat teori kasb. Kita akan coba bahas lebih dalam persoalan ini dalam tulisan
yang lain.
Tidak hanya itu, ilmu
kalam juga memiliki kepentingan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang
mengancam eksistensi peradaban modern, seperti misalnya, krisis lingkungan.
Tentang hal ini penulis telah menyelesaikan tesis master dengan judul The
Islamic Environmental Ethics: A Study on Intrinsic Value of Nature According to
the Theory of Oneness of Being of Transcendent Theosophy. Disini penulis dengan
tegas menyatakan bahwa akar dari krisis lingkungan (dan berbagai krisis
modernitas lainnya) adalah krisis dalam persepsi manusia modern (paradigma
modern) yang mengenyampingkan peran Tuhan dalam kehidupan dunia dan sebagai
implikasinya menghilangkan nilai sakral yang terkandung pada alam sebagai
tanda-tanda kebesaran-Nya (vestigia dei, ayatullah). Akibat dari krisis
persepsi seperti ini maka alam pun dinilai melulu berdasarkan nilai ekonomisnya
bagi manusia, sehingga sah-sah saja untuk “diperkosa” selama itu memiliki
keuntungan (secara ekonomis) bagi manusia (pemilik modal).
Humanisme Barat seperti
ini jelas bertentangan dengan humanisme Islam yang berdasarkan pada paradigma
integral (baca, tauhid atau kesatuan antara wujud Tuhan-alam-manusia dalam suatu
gradasi wujud). Dalam tulisan yang lain kita akan mencoba membahas permasalahan
ini secara lebih mendalam.
Sebenarnya masih banyak
lagi urgensi ilmu kalam dalam kehidupan sehari-hari, namun dua contoh di
atas—dalam hemat penulis—telah mencukupi. Tentu saja setiap kita memiliki
persoalan dalam kehidupan sehari-hari (yang tak jarang berujung pada “keluhan”
dan bahkan “kutukan” pada Tuhan) sekaligus kritik terhadap peradaban modern
yang dianggap merugikan atau bertentangan dengan hati nurani dan ajaran agama.
Ilmu kalam membantu kita dalam menyikapi berbagai persoalan dan kekhawatiran
tersebut, tidak secara praktis (karena memang ilmu kalam bukan ilmu praktis
yang menuntut keterampilan) namun dengan cara “meluruskan” paradigma atau
sudut-pandang keduniaan (worldview) kita sehingga sesuai dengan ajaran Islam
dan tauhid. Harapannya, tentu saja, dengan pemahaman yang memadai perihal
persoalan-persoalan dalam ilmu kalam, kita bisa mengambil tindakan yang sesuai;
dan semoga saja kita juga terhindar dari pemahaman-pemahaman yang dangkal
sehingga berujung pada berbagai aksi kekerasan dan teror yang mengatasnamakan
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar