Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten
merupakan situs bersejarah yang terletak di Desa Banten lama,
Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten. Masjid ini di
bangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Putera Sunan Gunung Jati, sekitar Tahun
1552 - 1570 M. Bangunan masjid Agung Banten merupakan suatu komplek dengan luas
tanah 1,3 ha yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi
tembok timur dan masing-masing terdapat dua buah gapura dibagian utara dan
selatan yang letaknya sejajar. Bangunan masjid menghadap ketimur berdiri diatas
pondasi masif dengan ketingggian satu meter dari halaman. Masjid ini memiliki
halaman yang luas dengan taman yang dihiasi Bunga - bunga Flamboyan. Bangunan
Tiyamah merupakan bangunan tambahan yang letaknya di sebelah selatan masjid.
Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno. Di bangun oleh Hendrick
Lucas Cardeel, seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan oleh sultan
diberi gelar Pangeran Wiraguana.
Bangunan ruang
utama berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 25 x 19 m. Lantai terbuat
dari ubin berukuran 30 x 30 cm, berwarna hijau muda dan dibatasi dinding pada
keempat sisinya. Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur.
Pada dinding ini terdapat empat pintu (dengan lubang angin) yang merupakan
pintu masuk utama. Pintu terletak dengan bidang segi empat dari dinding yang
menonjol berukuran 174 x 98 dengan dua daun pintu dari kayu. Bagian atas pintu
berbentuk lengkung setengah lingkaran. Lubang angin pada dinding timur ada dua
buah yang mengapit pintu, pintu paling selatan berbentuk persegi panjang dan di
dalamnya terdapat hiasan motif kertas tempel, Dinding barat tersebut berhiaskan
pelipit rata, penyangga, setengah lingkaran dan pelipit cekung.
Dinding sisi utara
membatasi ruang utama dengan serambi utama dengan sebuah pintu masuk berbentuk
empat persegi panjang ukuran 240 x 125 cm, berdaun pintu dua buah dari kayu.
Jendela pada dinding utara dua buah dengan dua daun jendela berbentuk segi
empat berukuran 180 x 152 cm. Sedangkan dinding selatan hanya mempunyai satu
pintu yang menghubungkan ruang utama dengan pawestren di dekat sudut barat
dinding.
Bangunan lain yang
ada di Masjid Agung Banten di mana diantaranya pada jarak 10 m dari kolam
dibagian timur (depan) masjid terdapat menara berwarna kuning muda dan tingginya
23 m. Menara Mesjid Agung Banten dibangun oleh Lucas Cardeel, Menurut K.C Crucg
berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten ini sudah ada sebelum tahun
1569/1570, bahkan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya, ia
berkesimpulan menara ini didirikan pada pertengahan kedua abad XVI yaitu antara
tahun 1560 sampai 1570. Dan dapat dimasuki sampai ke atas melalui 82 buah anak
tangga. Di dalam menara terdapat empat pintu dan bentuknya sama dengan pintu
masuk menara. Bangunan menara terbagi atas tiga bangunan yaitu kaki, tubuh dan
kepala.
Kolam berada di
dalam serambi timur berbentuk persegi panjang terbagi atas empat kolam kotak
yang dipisahkan oleh pematang tembok dan dihubungkan dengan lubang pada
masing-masing pematang. Kolam berukuran 28,1 - 3,10 m dan dalamnya antara
75-100 cm. di sekeliling kolam terdapat tembok setinggi 1,29 m dan tebalnya
32,5 cm. Untuk mencapai kolam di sediakan tangga turun sebanyak tiga anak
tangga dari arah halaman dan lima anak tangga dari serambi timur.
Selain
sebagai Obyek Wisata Ziarah, Masjid Agung Banten juga merupakan Obyek Wisata
Pendidikan dan Sejarah. Dengan mengunjungi Masjid ini, Wisatawan dapat
menyaksikan peninggalan bersejarah Kerajaan Islam di Banten pada Abad ke-16 M,
serta melihat keunikan arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa,
Cina dan Eropa.
Di serambi kiri
Masjid ini terdapat Makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya,
Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Nashr Abdul Kahar (Sultan Haji). Sementara di
serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhamad, Sultan Zainul Abidin,
Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir,
Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah,
Ratu Latifah dan Ratu Masmudah.
Makam “Banten” :
1. Makam
Pangeran Arya Mandalika
Pangeran Arya Mandalika adalah Putra Sultan Maulana Yusuf dari Isteri yang lain (bukan Permaisuri Ratu Khadijah). Pangeran Arya Mandalika menjabat sebagai Panglima Perang merangkap Menteri Perlengkapan, terletak di Kampung Kroyo sebelum Kraton Kaibon Kec. Kasemen Kota Serang.
2. Makam
Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara,
Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara
adalah salah seorang tokoh agama islam di Banten yang diperkirakan berasal dari
Masyarakat Baduy yang masuk islam dan mengabdikan dirinya kepada Kesultanan
Banten. Terletak di Desa Kasunyatan Kec. Kasemen Kota Serang.
3. Makam
Pangeran Jaga Laut
Adalah Putera Sultan Banten dari
isteri yang lain (bukan Nyi Ratu Ayu Kirana). Beliau merupakan salah satu Ulama
Besar Banten, yang menyebarkan islam di kawasan pesisir utara Banten. Terletak
di Desa Kronjo.
4. Penjiarahan
Gunung Santri
Makam Syekh Muhamad
Sholeh bin Abdurohman atau lebih dikenal dengan penjiarahan Gunung Santri
terletak di atas Puncak Gunung Santri di Kec. Bojonegara Kab. Serang, terletak
disebelah Barat Laut Daerah Pantai Utara, 25 Km dari Kota Serang atau sekitar 7
Km dari Kota Cilegon. Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel,
setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di
kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa
itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif
Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil
berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan
kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat
pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai ketelatennya
akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang
dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah
barat pusat kecamatan yang sedang bermunajat kepada Allah SWT. Setelah
memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke
Cirebon.
Karena kedekatannya
dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan
Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus
penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan
mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang
berada di blok Beji.
Setelah selesai
mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun
kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai
mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh
dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa
keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu
patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal
ma’rup nahi mungkar.
Beliau Wafat pada
usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk
dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal
sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar
yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh
wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.
5. Makam
Arya Wangsakara
Sumedang/Lengkong
Santri, Desa Pagedangan Kec. Curug. Nama Tokoh utama yang dimakamkan di Komplek
makam ini adalah Raden Arya Wangsakara bergelar Pangeran Wiraraja II atau
terkenal dengan julukan Imam haji Wangsaraja. Ayahnya bernama Pangeran Wiraraja
I atau bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang. Ibunya bernama
Putri Dewi Cipta, anak Raden Kidang Palakaran Cucu Pucuk Umum dari Banten.
Berdasarkan silsilah tersebut, Aria Wangsakara berasal dari Sumedang dan
Cirebon, sementara pihak Ibu berasal dari Banten. RA Wangsakara juga
seorang ulama, mendirikan kampung ini sebagai basis syiar Islam dengan
santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain
itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui
hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah
akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi
bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai
Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.
Sejarah Banten
Banten pada masa lalu merupakan
sebuah daerah dengan Kota Pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan Masyarakat
yang terbuka dan Makmur. Banten juga merupakan bagian dari Kerajaan
tarumanagara. Salah satu Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah
Prasasti Cidang Hiyang atau Prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak
ditepi Cidang Hiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru
ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf
pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi Prasasti tersebut mengagungkan keberanian
raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat serangan
Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai
Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten menjadi
salah satu Pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis
tersebut, Banten adalah salah satu Pelabuhan Kerajaan itu selain Pelabuhan
Pontang, Cigede, Tamgara (tangerang), Kalapa dan Cimanuk.
Sekilas perjalanan keturunan Kesultanan Banten
Menurut
sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat), Prabhu Siliwangi ini menikahi seorang
puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga Caruban bernama Rara Subanglarang, yang
telah memeluk agama Islam dan beberapa tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh
Kuro Krawang, dengan syarat menikah secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang
bertindak sebagai penghulunya dan di dudukkan di Keraton Pakuan Pajajaran
sebagai Permaisuri dan di perkenankan tetap melakukan sembahyang lima waktu.
Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang dari Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga
orang keturunan, ialah : Pangeran Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara
Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang. Menurut sejarah
Cirebon, salah seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran (
dari pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana
beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing
bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang
semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran
penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon,
Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan sumber
sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah,
dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah
Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata
atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan
Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan
Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik
Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Pada tahun 1479,
Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati.
Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan
Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, seorang kemenakan
dari putera adiknya, Nyai Rara Santang. Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran
Menurut sejarah
Banten, Putera Prabhu Siliwangi Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari
kentring Manik Mayang Sunda, yang merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal.
Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan
Dipati pesisir Banten. Sang Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya
Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki usia
dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, Syarif
Hidayatullah menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama
Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu
Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga di gelari Gunungsepuh.
Kasultanan Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya kerajaan-kerajaan yang
tersisa kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal hubungan wangsa Kediri
di Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram Ngayogyakarta. Bahkan dari
penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten Darussalam memiliki 4 propinsi
di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI
Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat. Dua propinsi
adalah Daerah Istimewa, dan salah satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI
Jakarta.
Sultan Maulana
Hasanuddin menikah dengan 2 orang isteri. Isteri pertamanya ialah puteri Sultan
Demak III, Trenggono. Dari pernikahan dengan isteri pertama berputera sulung
Maulana Yusuf. Dan putera kedua di angkat menjadi Dipati Jepara. Dengan
pernikahan dari isteri kedua, berketurunan puteri. Nantinya puteri Banten ini
yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh Yusuf dari kerajaan Tallo menikah
dengan puteri Banten ( adik) saudara Sultan Banten (II),
Maulana Yusuf. Keturunannya nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin,
ayam jantan dari timur. Yang pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika
Selatan. Atau juga di sebut Cape oleh lidah barat. Setelah Maulana Hasanuddin
mangkat, putera sulungnya Maulana Yusuf di angkat menjadi Sultan Banten ke-2.
Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk meluaskan wilayah kasultanan
Banten. Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk menguasai kedaton
terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi perebutan
kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa
atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad
karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu
oleh para ulama.
Puncak kejayaan, Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai
oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan
Sultan Haji, Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji
kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang
berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian
tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan
lada di Lampung.
Penghapusan
kesultanan, Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun
takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari
penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels
tahun 1808.
Sultan Ageng
Tirtayasa, Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu
al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia
bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda
yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal
dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun
Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan : Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada
periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu,
VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan
Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai
pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan
Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di
bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia
mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika
terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya,
Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan
Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di
Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar pemimpin
Kesultanan Banten
1. Sunan Gunung Jati
2. Sultan Maulana
Hasanudin 1552 – 1570
3. Maulana Yusuf 1570 –
1580
4. Maulana Muhammad
1585 – 1590
5. Sultan Abdul
Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun
1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
6. Sultan Abu
al-Ma'ali Ahmad 1640 – 1650
7. Sultan Ageng
Tirtayasa 1651-1680
8. Sultan Abdul
Kahar (Sultan Haji) 1683 – 1687
9. Abdul Fadhl /
Sultan Yahya (1687-1690)
10. Abul Mahasin
Zainul Abidin (1690-1733)
11. Muhammad Syifa
Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
12. Muhammad Wasi
Zainifin (1733-1750)
13. Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
14. Muhammad Arif
Zainul Asyikin (1753-1773)
15. Abul Mafakir
Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
16. Muhyiddin
Zainush Sholihin (1799-1801)
17. Muhammad Ishaq
Zainul Muttaqin (1801-1802)
18. Wakil Pangeran
Natawijaya (1802-1803)
19. Aliyuddin II
(1803-1808)
20. Wakil
Pangeran Suramanggala (1808-1809)
21. Muhammad Syafiuddin
(1809-1813)
22. Muhammad
Rafiuddin (1813-1820)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar