Istilah
ma’rifah berasal dari kata “arafa-ya’rifu”, yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka
istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah dan melihatnya dengan
penglihatan hati ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.
Kemudian
istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf , antara lain :
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan :“Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan
Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan
:“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) …dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi….”
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan
pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan :“Ma’rifah
membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan
(dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat
pula ketenangan (hatinya).”
d. Imam Al-Gazali mengatakan :
Ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturannya.
Keempat
pendapat di atas semuanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi
dengan Allah. Tapi tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan
ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan
ma’rifah, antara lain :
Selalu
memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu,
sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
Tidak menjadikan
keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena
hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
Tidak
menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya
sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT,
sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang
dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan bathin padanya, karena merasa
selalu bersama-sama dengan TuhanNya.
Tujuan
utama yang menjadi inti ajaran Tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifah
pada Dzatullah. Ma’rifah ini dalam Tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman
kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau
panca indra, akan tetapi hati atau qalbu. Oleh karena itu dalam ajaran Tasawuf
hati atau qalbu ini merupakan organ yang amat penting karena dengan mata
hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam ghaib
dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifah pada Dzatullah.
Imam
Al-Gazali berkata “kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi segala makhluk
lainnya adalah kesiapannya untuk ma’rifah pada Allah yang di dunia merupakan
keindahan kesempurnaan dan kebanggaannya dan di akhirat merupakan harta
kekayaan dan simpanannya adapun alat untuk mencapai penghayatan tersebut adalah
qalbu atau hati, maka hati itulah yang Alim terhadap Allah dan dia pula yang
bertaqaruub (ibadah) pada Allah, dan hati pula yang membuka tabir untuk menghayati Alam ghaib yang berada
disisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan
oleh hati, maka hati akan diterimah Allah apabila bersih dari apa yang selain
Allah dan hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbun apa yang selain
Allah, maka hati yang disuruh yang mencari Tuhan, dan hati pula yang diperintah
untuk ibadah padanya serta mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila
hatinya bersih dan celakalah bila hatinya kotor dan tersesat, bila manusia
kenal padanya pasti kenal akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya
pasti kenal akan TuhanNya dan sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan
hatinya, pasti tak kenal pada dirinya dan bila tak kenal akan dirinya pasti tak
kenal akan Tuhannya.
Uraian
di atas menunjukkan betapa pentingnya hati dalam ajaran Tasawuf sebagai alat
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Syarat – Syarat
Ma’rifah. Bila seseorang ingin mencapai
kondisi ma’rifatullah maka diperlukan
syarat-syarat sebagai berikut :
1) Harus memiliki nilai dan tekad
serta kenyakinan ingin bertemu dengan Allah
2) Pembersihan
jiwa melalui takhali dan tahalli lalu tajalli
3) Senantiasa
mensyukuri Nikmat Allah
4) Dalam situasi apapun dia selalu
mengingat pada Allah
5) Harus dpat mengenal diri
pribadinya
6) Harus mengenal sifat-sifat Allah.
7) Menyukai tafakkur
8) Mengenal segala sesuatu di
dunia ini, senantiasa di kembalikan pada sumbernya yaitu sang penciptanya
Tahapan-Tahapan
yang harus dilalui sufi (Maqam), Perjalanan dari satu estafe ke estafe berikutnya adalah perjalanan
yang berat dan sulit, oleh karenanya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang
disebut Mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah atau hal-hal yang bersifat pelaksanaan syariat dan muamalat
maupun aspek bathiniyyah atau hakikat, mempertinggi mutu pengetahuan dan
pengamalannya,melenyepkan sikap-sikap yang tidak baik da mengisi diri dengan
sifat-sifat yang terpuji. Adapun tahapan –tahapan yang harus dilalui adalah :
a) Taubat
Menurut sufi,yang
menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa,sebab dosa adalah
sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha suci dan menyukai yang suci. Oleh
karena itu apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepadaNya maka ia
harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam
pengertian taubat yang sebenar-benarnya.
b) Az-Zuhud
Menurut pandangan
sufi, dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan
penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan
dosa oleh karenanya seorang calon sufi harus lebih dulu zuhud atau asketis
yaitu mengabaikan kehidupan yang bersifat duniawi. Buah zuhud sebenarnya yang
deikehendaki adalah merasa cukup dengan ada adanyua untuk sekedar memenuhi
kebutuhan hidup.
c) Al-Wara’
Pengertian dasar dari
kata wara’ ada;ah menghindari apa saja yang tidak baik. Tapi sufi memiliki pengertian
lain dimana mereka mengartikan Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang tidak
jelas hukumnya baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan. Menurut
Ibrahim bin Adham wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang masih diragukan.
d) Al-Faqr
Al-Faqr mempunyai
interpretassi yang berbeda diantara para sufi tetapi bagaimana pun konotasi
yang diberikan sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat didalamnya
agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negative yang diakibatkan
oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi merasa lebih baik tidak punya
apa-apa atau merasa cukup dengan apa adanya.
e) As-Sabr
Sabar artinya
konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, berani
menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan . Sabar erat kaitannya pada
pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan
mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.
f) Tawakkal
Secara umum penegrtian
tawakkal itu adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah
melakukan usaha. Kita tidakk boleh bersikap a posteriori terhadap rencana yang
telah disusun tetapi harus bersikap menyerahkan kepada Allah, kita hanya bias
bererncana dan berusaha tapi Tuhanlah yang menentukan
segalanya.
g) Ar-Ridha’
Kata Dzu Nun al-Mishri
ridha’ adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati,tanda-tanda orang yang sudah ridha’
adalah mempercayakan hasil usahanya sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa
gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala turunnya
malapetaka.
Karakterisktik
Sufi ( al-Ahwal ), Menurut sufi al-Ahwal adalah jamak dari al-hal dalam bahasa Inggrisnya disebut
state adalah situasi kejiwaan yang dipengaruhi oleh
sufi sebagai karunia dari Allah. Datangnya situasi atau kondisi psikis itu
tidak menentu, terkadang datang dan perginya berlansung cepat yang disebut lawai ada pula yang datang dan
perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama disebut bawadih . Apabila mental itu telah
terkondisi dan menjadi kepribadian maka itulah yang disebut al-hal. Menurut
Al-Qusyairi al-halselalu bergerak naik setahap demi setahap sampai ketingkat puncak
kesempurnaan rohani.
Apabila
diperhatika dari isi al-hal itu sebenarnya merupakan
manifestasi darimaqam yang mereka lalui sebelumnya .
Artinya bahwa kondisi mental yang digambarkan dengan al-hal itu, adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang mereka
lakukan.
Sebagaimana halnya
dengan al-maqamat dalam jumlah dan formasi al-hal juga terddapat banyak perbedaan pendapat dikalangan sufi, tapi
pendapat yang manyoritas adalah al-Muraqabah, al- khauf al- Raja’,
al-Musyahadah, al- Thuma’ninah, dan al-Yakin.
Jadi, Konsep
Al-Ghazali tentang ma’rifat yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturanNya tentang segala yang ada, pengetahuan yang diperoleh dari
ma’rifat lebih bermutu dari pada pengetahuan yang diperoleh akal , ma’rifat
inilah yang kemudian menimbulkan Mahabbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar