Jumat, 23 Desember 2016

Konsep Ma’rifah Dalam Ajaran Tasawuf


Istilah ma’rifah berasal dari kata “arafa-ya’rifu”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah dan melihatnya dengan penglihatan hati ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf , antara lain : 
 a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan :“Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan :“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) …dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi….” 
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan :“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
d. Imam Al-Gazali mengatakan : Ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturannya.
Keempat pendapat di atas semuanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Allah. Tapi tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf  dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain :
Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan bathin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan TuhanNya.
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran Tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifah pada Dzatullah. Ma’rifah ini dalam Tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau panca indra, akan tetapi hati atau qalbu. Oleh karena itu dalam ajaran Tasawuf hati atau qalbu ini merupakan organ yang amat penting karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam ghaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifah pada Dzatullah.
Imam Al-Gazali berkata “kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi segala makhluk lainnya adalah kesiapannya untuk ma’rifah pada Allah yang di dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaannya dan di akhirat merupakan harta kekayaan dan simpanannya adapun alat untuk mencapai penghayatan tersebut adalah qalbu atau hati, maka hati itulah yang Alim terhadap Allah dan dia pula yang bertaqaruub (ibadah) pada Allah, dan hati  pula yang membuka tabir untuk menghayati Alam ghaib yang berada disisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, maka hati akan diterimah Allah apabila bersih dari apa yang selain Allah dan hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbun apa yang selain Allah, maka hati yang disuruh yang mencari Tuhan, dan hati pula yang diperintah untuk ibadah padanya serta mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih dan celakalah bila hatinya kotor dan tersesat, bila manusia kenal padanya pasti kenal akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya pasti kenal akan TuhanNya dan sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan hatinya, pasti tak kenal pada dirinya dan bila tak kenal akan dirinya pasti tak kenal akan Tuhannya.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya hati dalam ajaran Tasawuf sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Syarat – Syarat Ma’rifah. Bila seseorang ingin mencapai kondisi ma’rifatullah maka  diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 
1) Harus memiliki nilai dan tekad serta kenyakinan ingin bertemu dengan Allah
2) Pembersihan jiwa melalui takhali dan tahalli lalu tajalli  
3) Senantiasa mensyukuri Nikmat Allah
4) Dalam situasi apapun dia selalu mengingat pada Allah
5) Harus dpat mengenal diri pribadinya
6)  Harus mengenal sifat-sifat Allah.
7) Menyukai tafakkur
8)  Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa di kembalikan pada sumbernya yaitu sang penciptanya
Tahapan-Tahapan yang harus dilalui sufi (Maqam), Perjalanan dari satu estafe ke estafe berikutnya adalah perjalanan yang berat dan sulit, oleh karenanya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang disebut Mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah  atau hal-hal yang bersifat pelaksanaan syariat dan muamalat maupun aspek bathiniyyah atau hakikat, mempertinggi mutu pengetahuan dan pengamalannya,melenyepkan sikap-sikap yang tidak baik da mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Adapun tahapan –tahapan yang harus dilalui adalah :
a) Taubat
Menurut sufi,yang menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa,sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepadaNya maka ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam pengertian taubat yang sebenar-benarnya.
b) Az-Zuhud
Menurut pandangan sufi, dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan  yang menimbulkan kerusakan dan dosa oleh karenanya seorang calon sufi harus lebih dulu zuhud atau asketis yaitu mengabaikan kehidupan yang bersifat duniawi. Buah zuhud sebenarnya yang deikehendaki adalah merasa cukup dengan ada adanyua untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup.
c)  Al-Wara’
Pengertian dasar dari kata wara’ ada;ah menghindari apa saja yang tidak baik. Tapi sufi memiliki pengertian lain dimana mereka mengartikan Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang tidak jelas hukumnya baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan. Menurut Ibrahim bin Adham wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang masih diragukan.
d) Al-Faqr
Al-Faqr mempunyai interpretassi yang berbeda diantara para sufi tetapi bagaimana pun konotasi yang diberikan sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat didalamnya agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negative yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau merasa cukup dengan apa adanya.
e)  As-Sabr
Sabar artinya konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan . Sabar erat kaitannya pada pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.
f)  Tawakkal  
Secara umum penegrtian tawakkal itu adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melakukan usaha. Kita tidakk boleh bersikap a posteriori terhadap rencana yang telah disusun tetapi harus bersikap menyerahkan  kepada Allah, kita hanya bias bererncana dan berusaha tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.     
g)     Ar-Ridha’
Kata Dzu Nun al-Mishri ridha’ adalah menerima  tawakkal dengan kerelaan hati,tanda-tanda orang yang sudah ridha’ adalah mempercayakan hasil usahanya sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.
Karakterisktik Sufi ( al-Ahwal ), Menurut sufi al-Ahwal adalah jamak dari al-hal dalam bahasa Inggrisnya disebut state adalah situasi kejiwaan yang dipengaruhi oleh sufi sebagai karunia dari Allah. Datangnya situasi atau kondisi psikis itu tidak menentu, terkadang datang dan perginya berlansung cepat yang disebut lawai ada pula yang datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama disebut bawadih . Apabila mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian maka itulah yang disebut al-hal. Menurut Al-Qusyairi al-halselalu bergerak naik setahap demi setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani.
Apabila diperhatika dari isi al-hal  itu sebenarnya merupakan manifestasi darimaqam yang mereka lalui sebelumnya . Artinya bahwa kondisi mental yang digambarkan dengan al-hal  itu, adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang mereka lakukan.
Sebagaimana halnya dengan al-maqamat dalam jumlah dan formasi al-hal juga terddapat banyak perbedaan pendapat dikalangan sufi, tapi pendapat yang manyoritas adalah al-Muraqabah, al- khauf al- Raja’, al-Musyahadah, al- Thuma’ninah, dan al-Yakin.
Jadi, Konsep Al-Ghazali tentang ma’rifat yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturanNya tentang segala yang ada, pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih bermutu dari pada pengetahuan yang diperoleh akal , ma’rifat inilah yang kemudian menimbulkan Mahabbah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar