Jika 4 Oktober 2000 dijadikan sebagai hari jadi Provinsi Banten maka 4
Oktober 2008 yang lalu Banten menginjak usianya yang ke- delapan. Pemerintah
provinsi sering mengumpamakan Banten masih bayi yang hanya bisa merangkak. Kini
bayi itu sudah delapan tahun, artinya sudah besar. Bagi ukuran manusia normal
usia delapan tahun sudah bisa mengeja angka atau abjad. Usia delapan tahun
sudah boleh masuk sekolah. Artinya ia bisa bergaul dan berinteraksi dengan orang
lain

Indikasi lainnya yang tak kalah penting adalah pendidikan yang murah dan
terjangkau. Pendidikan adalah sebuah instrument untuk memberikan transfomasi
nilai-nilai transedental. Pendidikan adalah tempat untuk membina mental masyarakat
dan pola pikir yang lebih dinamis dan kreatif juga sebagai indikasi indeks
pembangunan manusia. Selain itu indikasi lain yang tak kalah penting adalah
kesehatan dan kependudukan. Kesehatan merupakan ruh sebuah kehidupan.
Masyarakat yang tertata dengan baik, bersih, sehat dan berpendidikan merupakan
tanda daerah yang maju.
Kesenjangan, Jika melihat hal-hal tersebut, kondisi Banten saat ini masih
jauh api dari panggang. Meski sudah delapan tahun menjadi provinsi perekonomian
masyarakat secara kasat mata tertinggal. Pemberdayaan ekonomi justru masih jauh
dari harapan. Hampir kita saksikan setiap hari di beberapa lokasi di Serang,
Pandeglang, Cilegon mengantri untuk mendapatkan minyak tanah. Mereka tak
sanggup menghadapi badai perubahan ekonomi yang semakin berat. Di media massa ,
kita juga dapat menyaksikan masyarakat mengantri untuk membeli minyak curah
bersubdisi. Ini adalah potret kecil masyarakat yang menunjukan ketidakberdayaan
ekonomi.
Lemahnya ekonomi kita juga dapat kita lihat dari kesenjangan infrastruktur antara Utara dan Selatan Banten. Ini perbincangan yang tak pernah selesai semenjak Banten berdiri. Utara seolah-seolah menjadi dominasi atas selatan yang miskin fasilitas. Dari segi alat transportasi, komunikasi dan yang lainnya, Selata selalu tertinggal. Padahal pemerataan infrastruktur sebuah daerah merupakan salah satu keberhasilan dari otonomi daerah. Kesenjangan infrastrutktur ini pula telah melahirkan kesenjangan konsumerisme masyarakat Banten. Disparitas antara utara dan selatan, barat dan timur bisa menjadi perpecahan.
Pendidikan
Tertinggal
Dari potret pendidikan pun Banten kalah jauh bergerak dengan
propinsi-propinsi seusianya. Pekan lalu saya membaca di beberapa media massa
bahwa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) belum mampu menggarap
soal-soal untuk Ujian PNS. Ini, menyakitkan. Tapi kenyataan bahwa tak terjadi
perubahan yang significant dalam dunia pendidikan. Keneh-keneng bae,
‘mangkonon-mangkonon bae’ Artinya, upaya untuk mendorong pembangunan sumber
daya manusia Banten berjalan di tempat. Di kampus saya sering terlibat obrolan
serius dengan para pengajar. Diantaranya Muhammad Jaiz, Yoki Yusanto, dan Teguh
Iman Prasetya. Mereka menanyakan arah pembangunan pendidikan di Banten. Mereka
mengeluh minimnya orang-orang Banten yang bisa mengakses Untirta. Yoki, mantan
wartawan MetroTV asal Bandung itu mencontohkan di kelas jurnalistiknya tidak
ada satu pun orang Lebak dan Pandeglang.
Padahal pada awal-awal ia bersemangat mengajar karena bisa berbagi
informasi dengan orang-orang dari daerah Banten Selatan yang notabene
tertinggal itu. Pun demikian dengan Muhammad Jaiz dan beberapa pengajar yang
lainnya mengeluhkan hal yang serupa. Ada dua alasan yang bisa menyebabkan hal
ini. Pertama mungkin karena SMA-SMA di Banten telah gagal menghasilkan lulusan
yang berkualitas. Karena seperti kita ketahui Untirta telah masuk pada jajaran
PTN yang mengikuti seleksi melalui ujian bersama seperti Seleksi Penerimaan
Siswa Baru (SPMB) yang memungkinkan dijangkau oleh berbagai lulusan di seluruh
nusantara. Kedua, bisa jadi Untirta tidak menarik lulusan SMA yang berada di
Banten karena kualitasnya memang tertinggal jauh dari PTN-PTN lainnya.
Tanpa ingin memunculkan feodalisme dan definisi pendidikan yang universal,
ini tentunya harus menjadi pemikiran bersama. Karena kita tahu bahwa tujuan
didirikannya sebuah lembaga pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia yang ada. Jangan sampai nantinya pemerintah dareah
memberikan subsidi yang besar ke Untirta tanpa memberikan output yang jelas
terhadap pembangunan Banten itu sendiri.
Tak berhenti
disitu, potret pendidikan juga masih diwarnai dengan masih banyaknya bangunan
sekolah yang tak layak pakai. Di beberapa media sering diberitakan sekolah
runtuh karena tak direnovasi.
Potret di atas adalah gambaran umum Banten delapan tahun kini. Dibalik
kegagalan itu kita tidak bisa menafikan pembangunan dan perubahan yang terjadi.
Namun sifatnya parsial dan hanya pada beberpa segi, dan lebih didominasi pada
pembangunan fisik. Itu pun diwarnai dengan aroma tak sedap korupsi dan
premanisme proyek. Toto St Radik pada refleksi Hari Ulang Tahun Banten ke – 5
pernah menyinggung hal ini. Dan kini, tiga tahun berlalu, kondisinya tak juga
berubah.
Nostalgia Dan
Semangat Membangun
Banten penuh Nostalgia dengan kejayaan dan heroisme. Dari sisi ekonomi
Banten pernah menjadi pusat perdagangan dunia. Ini dibuktikan dengan keberadaan
bandar Internasional Karangantu. Menurut Hasan Muarif Ambary (1995) yang
dikutip oleh Machsus Thamrin Bandar Karangantu ini tumbuh menjadi sebuah pusat
perdagangan yang besar, sehingga membawa Kejayaan Banten dalam pengaruh Islam.
Dari
ketatanegaraan Banten juga pernah menorehkan sejarah. Banten telah mengirimkan
duta besarnya ke Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai
Ngabehi Wira Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana.
Dari dunia pendidikan dan keintelektualan, Ibnu Hamad, seorang doktor
komunikasi dari Universitas Indonesia pernah menulis jika kondisi
keintelektualan Banten sebenarnya sudah ada sejak dulu. Itu dibuktikan dengan
Syeh Nawawi Al-Bantani yang dikenal di jagat dunia. Kemudian Hoesein
Djajadiningrat, orang Banten yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar
doctoral di Den Haag Belanda. Dan bukti lainnya adalah sosok A Rivai yang
pernah memimpin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kiranya itu adalah sebuah semangat dan pemecut untuk kita bersama membangun
kembali kejayaan Banten. Saat ini pemerintah daerah memegang peranan tinggi
untuk menumbuhkan semangat masyarakat. Sebagai regulator, dan perpanjangan
pemerintah pusat, pemerintah daerah harus mampu mengelola sumber-sumber yang
ada yang kemudian menjadi sumber kesejahteraan untuk masyarakat Banten. Saat
ini tampuk kekuasaan politik itu dipegang oleh Ratu Atut Chosiyah sebagi
pemimpin pemerintahan daerah. Sebagai kepala daerah yang dipilih secara
langsung, Atut memiliki legalitas yang kuat untuk menjalankan perannya
melaksanakan amanat rakyat. Untuk menorehkan sejarah, membangun peradaban
Banten yang jaya Atut harus mampu mengendalikan kerabat, keluarga dan
kroni-kroninya untuk membangun Banten kearah kemajuan. Sementara stakeholder,
masyarakat, pers dan komponen lainnya harus bersama-sama mendukung setiap
langkah pemerintah yang positif dengan terus kritis tanpa sinisme.
Banten adalah sebuah anugrah dari Allah SWT. Di bumi Sultan ini terhampar
laut, telah tumbuh emas, padi dan besi juga beragam potensi alam lainnya. Dari
Selatan dan Utara memiliki potensi alam yang tak kalah dengan daera-daerah
lainnya. Karena itu, si bayi Banten kini sudah delapan tahun. Seremonial
mengenang perjuangan mewujudkan provinsi memang perlu. Agar masyarakat bisa
mengingat. Tapi yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan cita-cita
perjuangan para pejuang itu untuk mewujudkan masyarakat adil sejahtera
berlandaskan iman dan taqwa seperti dalam visi misi provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar