Sabtu, 24 Desember 2016

Sawindu Banten atau Bernostalgia dengan Prov.Banten


Jika 4 Oktober 2000 dijadikan sebagai hari jadi Provinsi Banten maka 4 Oktober 2008 yang lalu Banten menginjak usianya yang ke- delapan. Pemerintah provinsi sering mengumpamakan Banten masih bayi yang hanya bisa merangkak. Kini bayi itu sudah delapan tahun, artinya sudah besar. Bagi ukuran manusia normal usia delapan tahun sudah bisa mengeja angka atau abjad. Usia delapan tahun sudah boleh masuk sekolah. Artinya ia bisa bergaul dan berinteraksi dengan orang lain
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo9f8_OM6T_l-oe-eYYxUAJQ0XP2zTq2EXD-PDnNKGt6u-YWAyWYiZXfwHz-IU8VjMY9xB6iwUKGnOm2kMhaHiP3RdU3vJaC4MeInvAUOd2v3u_D3Qsrzodl6MS9w4_Canu3DshXfm5FY/s320/plang+rawa+danau.jpgLalu apakah, Banten, si bayi kini sudah menunjukan perubahan? Untuk menjawabnya memang kita tidak bisa serampangan. Penulis berpijak pada pendapat Britany Alasen Sembiring, seorang pemerhati otonomi daerah. Ia mengungkapkan ada beberapa hal yang bisa dijadikan indikasi untuk menilai keberhasilan otonomi daerah. Yang pertama adalah keberhasilan kehidupan ekonomi penduduk. Menurut Britany secara mikro itu bisa diukur dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang konsumsi. Penulis menginterpretasikan ini sebagai kekuatan ekonomi masyarakat tumbuh dengan berbagai macam fenomena yang ada. Masyarakat mampu mengelola potensi alam yang ada sehingga bisa menjadi sumber penghasilan bagi dirinya. Dengan demikian masyarakat bisa menyisihkannya penghasilannya untuk menabung.
Indikasi lainnya yang tak kalah penting adalah pendidikan yang murah dan terjangkau. Pendidikan adalah sebuah instrument untuk memberikan transfomasi nilai-nilai transedental. Pendidikan adalah tempat untuk membina mental masyarakat dan pola pikir yang lebih dinamis dan kreatif juga sebagai indikasi indeks pembangunan manusia. Selain itu indikasi lain yang tak kalah penting adalah kesehatan dan kependudukan. Kesehatan merupakan ruh sebuah kehidupan. Masyarakat yang tertata dengan baik, bersih, sehat dan berpendidikan merupakan tanda daerah yang maju.
Kesenjangan, Jika melihat hal-hal tersebut, kondisi Banten saat ini masih jauh api dari panggang. Meski sudah delapan tahun menjadi provinsi perekonomian masyarakat secara kasat mata tertinggal. Pemberdayaan ekonomi justru masih jauh dari harapan. Hampir kita saksikan setiap hari di beberapa lokasi di Serang, Pandeglang, Cilegon mengantri untuk mendapatkan minyak tanah. Mereka tak sanggup menghadapi badai perubahan ekonomi yang semakin berat. Di media massa , kita juga dapat menyaksikan masyarakat mengantri untuk membeli minyak curah bersubdisi. Ini adalah potret kecil masyarakat yang menunjukan ketidakberdayaan ekonomi.

Lemahnya ekonomi kita juga dapat kita lihat dari kesenjangan infrastruktur antara Utara dan Selatan Banten. Ini perbincangan yang tak pernah selesai semenjak Banten berdiri. Utara seolah-seolah menjadi dominasi atas selatan yang miskin fasilitas. Dari segi alat transportasi, komunikasi dan yang lainnya, Selata selalu tertinggal. Padahal pemerataan infrastruktur sebuah daerah merupakan salah satu keberhasilan dari otonomi daerah. Kesenjangan infrastrutktur ini pula telah melahirkan kesenjangan konsumerisme masyarakat Banten. Disparitas antara utara dan selatan, barat dan timur bisa menjadi perpecahan.
Pendidikan Tertinggal
Dari potret pendidikan pun Banten kalah jauh bergerak dengan propinsi-propinsi seusianya. Pekan lalu saya membaca di beberapa media massa bahwa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) belum mampu menggarap soal-soal untuk Ujian PNS. Ini, menyakitkan. Tapi kenyataan bahwa tak terjadi perubahan yang significant dalam dunia pendidikan. Keneh-keneng bae, ‘mangkonon-mangkonon bae’ Artinya, upaya untuk mendorong pembangunan sumber daya manusia Banten berjalan di tempat. Di kampus saya sering terlibat obrolan serius dengan para pengajar. Diantaranya Muhammad Jaiz, Yoki Yusanto, dan Teguh Iman Prasetya. Mereka menanyakan arah pembangunan pendidikan di Banten. Mereka mengeluh minimnya orang-orang Banten yang bisa mengakses Untirta. Yoki, mantan wartawan MetroTV asal Bandung itu mencontohkan di kelas jurnalistiknya tidak ada satu pun orang Lebak dan Pandeglang.
Padahal pada awal-awal ia bersemangat mengajar karena bisa berbagi informasi dengan orang-orang dari daerah Banten Selatan yang notabene tertinggal itu. Pun demikian dengan Muhammad Jaiz dan beberapa pengajar yang lainnya mengeluhkan hal yang serupa. Ada dua alasan yang bisa menyebabkan hal ini. Pertama mungkin karena SMA-SMA di Banten telah gagal menghasilkan lulusan yang berkualitas. Karena seperti kita ketahui Untirta telah masuk pada jajaran PTN yang mengikuti seleksi melalui ujian bersama seperti Seleksi Penerimaan Siswa Baru (SPMB) yang memungkinkan dijangkau oleh berbagai lulusan di seluruh nusantara. Kedua, bisa jadi Untirta tidak menarik lulusan SMA yang berada di Banten karena kualitasnya memang tertinggal jauh dari PTN-PTN lainnya.
Tanpa ingin memunculkan feodalisme dan definisi pendidikan yang universal, ini tentunya harus menjadi pemikiran bersama. Karena kita tahu bahwa tujuan didirikannya sebuah lembaga pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada. Jangan sampai nantinya pemerintah dareah memberikan subsidi yang besar ke Untirta tanpa memberikan output yang jelas terhadap pembangunan Banten itu sendiri.
Tak berhenti disitu, potret pendidikan juga masih diwarnai dengan masih banyaknya bangunan sekolah yang tak layak pakai. Di beberapa media sering diberitakan sekolah runtuh karena tak direnovasi.
Potret di atas adalah gambaran umum Banten delapan tahun kini. Dibalik kegagalan itu kita tidak bisa menafikan pembangunan dan perubahan yang terjadi. Namun sifatnya parsial dan hanya pada beberpa segi, dan lebih didominasi pada pembangunan fisik. Itu pun diwarnai dengan aroma tak sedap korupsi dan premanisme proyek. Toto St Radik pada refleksi Hari Ulang Tahun Banten ke – 5 pernah menyinggung hal ini. Dan kini, tiga tahun berlalu, kondisinya tak juga berubah.
Nostalgia Dan Semangat Membangun
Banten penuh Nostalgia dengan kejayaan dan heroisme. Dari sisi ekonomi Banten pernah menjadi pusat perdagangan dunia. Ini dibuktikan dengan keberadaan bandar Internasional Karangantu. Menurut Hasan Muarif Ambary (1995) yang dikutip oleh Machsus Thamrin Bandar Karangantu ini tumbuh menjadi sebuah pusat perdagangan yang besar, sehingga membawa Kejayaan Banten dalam pengaruh Islam.
Dari ketatanegaraan Banten juga pernah menorehkan sejarah. Banten telah mengirimkan duta besarnya ke Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai Ngabehi Wira Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana.
Dari dunia pendidikan dan keintelektualan, Ibnu Hamad, seorang doktor komunikasi dari Universitas Indonesia pernah menulis jika kondisi keintelektualan Banten sebenarnya sudah ada sejak dulu. Itu dibuktikan dengan Syeh Nawawi Al-Bantani yang dikenal di jagat dunia. Kemudian Hoesein Djajadiningrat, orang Banten yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar doctoral di Den Haag Belanda. Dan bukti lainnya adalah sosok A Rivai yang pernah memimpin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kiranya itu adalah sebuah semangat dan pemecut untuk kita bersama membangun kembali kejayaan Banten. Saat ini pemerintah daerah memegang peranan tinggi untuk menumbuhkan semangat masyarakat. Sebagai regulator, dan perpanjangan pemerintah pusat, pemerintah daerah harus mampu mengelola sumber-sumber yang ada yang kemudian menjadi sumber kesejahteraan untuk masyarakat Banten. Saat ini tampuk kekuasaan politik itu dipegang oleh Ratu Atut Chosiyah sebagi pemimpin pemerintahan daerah. Sebagai kepala daerah yang dipilih secara langsung, Atut memiliki legalitas yang kuat untuk menjalankan perannya melaksanakan amanat rakyat. Untuk menorehkan sejarah, membangun peradaban Banten yang jaya Atut harus mampu mengendalikan kerabat, keluarga dan kroni-kroninya untuk membangun Banten kearah kemajuan. Sementara stakeholder, masyarakat, pers dan komponen lainnya harus bersama-sama mendukung setiap langkah pemerintah yang positif dengan terus kritis tanpa sinisme.
Banten adalah sebuah anugrah dari Allah SWT. Di bumi Sultan ini terhampar laut, telah tumbuh emas, padi dan besi juga beragam potensi alam lainnya. Dari Selatan dan Utara memiliki potensi alam yang tak kalah dengan daera-daerah lainnya. Karena itu, si bayi Banten kini sudah delapan tahun. Seremonial mengenang perjuangan mewujudkan provinsi memang perlu. Agar masyarakat bisa mengingat. Tapi yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan cita-cita perjuangan para pejuang itu untuk mewujudkan masyarakat adil sejahtera berlandaskan iman dan taqwa seperti dalam visi misi provinsi Banten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar