“Mentalitas pencerahan”
(Enlightenment Mentality) yang berkembang di Eropa pada abad ke-18, menurut
para kritikus menjadi penyebab bencana ekologis dewasa ini. Mentalitas
pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri
atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa
depannya. Hal ini mendorong manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ciri
khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme.
Kandungan dari
rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan
menaklukan (alam). Kesadaran bahwa manusia menjadi ukuran dan tuan bagi semua
hal – sebagai anak kandung pencerahan - membawa implikasi yang dalam bagi
kehidupan manusia secara keseluruhan termasuk dalam relasinya dengan alam.
Implikasi dari mentalitas inilah yang membawa kehancuran bagi alam serta
mengancam keberlangsungan hidup manusia sendiri. Mentalitas pencerahan
menempatkan manusia sebagai pusat, mendorong manusia untuk terus mengeksplorasi
dan mengeksploitasi alam untuk kesejahteraan dirinya.
Eksplotasi yang
berlebihan atas alam menyebabkan kerusakan ekologis dan lingkungan hidup yang
parah. Berita bencana alam pada setiap musim yang kita masuki adalah buktinya.
Tidak ada musim tanpa bencana. Pada setiap musim hujan media masa baik cetak
maupun elektronik menyuguhkan bagi kita santapan pagi yang sudah menjadi
kelaziman selama beberapa tahun terakhir yakni berita banjir dan tanah longsor
plus daftar panjang para korban. Sementara pada musim kemarau kepada kita
disuguhkan berita kebakaran hutan serta asapnya yang dapat menyebabkan penyakit
pernafasan juga memacetkan transportasi khususnya transportasi darat dan udara.
Sejalan dengan itu, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi tema obrolan
harian kita di mana saja, baik di ruang-ruang kuliah, ruang seminar, kafe-kafe,
dunia maya, ruang makan, sampai obrolan dalam bus kota yang selalu macet dan
sumpek.
Gambaran tentang dampak pemanasan global bagi
bumi bahkan menjadi kisah film yang menarik untuk ditonton. Sebut sebagai
contoh film the day after tomorrow yang mengkisahkan dampak pencairan es di
kutub bagi peningkatan permukaan air laut yang bisa menghancurkan kota seperti
New York misalnya. Banyak orang prihatin dan cemas akan kondisi lingkungan kita.
Banyak pula yang dapat mengidentifikasi penyebab banjir dan tanah longsor serta
kebakaran hutan-hutan kita, namun tidak sedikit pula orang yang pura-pura tidak
tahu dan tidak mau tahu karena mereka justru mereguk kenikmatan hidup duniawi
di tengah segala macam bencana itu.
Tulisan ini dimaksudkan
untuk membahas dampak mentalitas pencerahan bagi kelangsungan hidup bumi ini
beserta seluruh isinya. Untuk meringkas, saya akan membahas topik tersebut
denganalur sebagai berikut. Pertama-tama saya akan membahas apa itu zaman
pencerahan dan mentalitas pencerahan. Selanjutnya akan dibahas dampak
mentalitas pencerahan itu bagi alam semesta. Setelah itu, akan disampaikan
usulan Tu Wei-ming dalam rangka menciptakan suatu tata dunia baru, di mana
beliau menekankan pentingnya etika dan nilai serta menganjurkan untuk kembali
ke tradisi spiritual dan tradisi-tradisi religius primitif yang dapat hidup
dalam harmoni dengan alam.Lalu ditutup dengan kesimpulan ringkas I.Zaman
Pencerahan dan Mentalitas Pencerahan.
Keyakinan bahwa rasio merupakan kekuatan
manusia yang terpenting pada abad ke-18 menggejala dan menjadi gerakan zaman
yang mempengaruhi tidak hanya kehidupan akademis, melainkan juga kehidupan
sosial, politis dan kultural. Zaman ini disebut zaman “Aufklärung” atau “pencerahan”
dalam bahasa Indonesia. Zaman ini dapat dipandang sebagai akumulasi optimisme
pemikiran modern terhadap rasio manusia. Optimisme itu juga sangat banyak
dipengaruhi oleh kemajuan pesat yang dicapai oleh ilmu-ilmu alam dan teknologi.
Ide yang mendasari
zaman pencerahan adalah mewujudkan kebahagiaan di dunia ini. Para pemikir pada
zaman ini sangat yakin bahwa umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan
kebahagiaan di dunia ini sehingga manusia tidak perlu menunggu-nunggu rahmat
atau kehidupan akherat sebagaimana yang diajarkan oleh agama Kristen, melainkan
mewujudkannya sekarang di dunia. Dasar dari keyakinan itu adalah pengalaman
bahwa berabad-abad dominasi religius tidak menghasilkan kebahagiaan duniawi,
melainkan berbagai bentuk ketergantungan dan ketakutan karena kepercayaan naif
akan takhyul-takhyul. Menurut pandangan zaman itu, rasio merupakan terang baru
yang menggantikan iman kepercayaan, dan rasio ini membawa tidak hanya
kebenaran, melainkan juga kebahagiaan dalam hidup manusia (Budi Hardiman 2007:
96). Definisi Kant tentang Pencerahan diakui sebagai salah satu definisi yang
mencerminkan mentalitas pada zaman itu. Kant mendefinisikan pencerahan seperti
berikut: “Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketidak-dewasaan
(unműndigkeit) yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan
merupakan ketidakmampuan untuk menggunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain.
... penyebab ketidakdewasaan bukan karena kurangnya akal, melainkan lebih pada
soal ketetapan hati dan keberanian untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan
orang lain.
Pencerahan lalu dilihat
sebagai suatu kesadaran baru akan tanggung jawab untuk memakai rasio itu,
karena jika tidak, kebahagiaan yang dicita-citakan itu tidak akan tercapai.
Maka itu semboyan zaman pencerahan “Sapere aude!” (Beranilah berpikir sendiri!)
memuat suatu keyakinan bahwa rasio merupakan kemampuan manusiawi yang sentral.
Namun kemampuan itu baru menjadi aktual kalau dikaitkan dengan suatu keutamaan,
yakni keberanian. Pertautan rasio dan keberanian meradikalkan salah satu ciri
modernitas, yaitu kritik. Pertautannya dengan kemajuan juga jelas dalam upaya
mengejar kebahagiaan di dunia ini, sebab kebahagiaan harus tampil dalam bentuk
kemajuan material.
Kemajuan dan perbaikan
kodrati manusia bisa dilakukan sampai tak terbatas lewat pengetahuaannya. Sains
modern yang telah dirintis oleh Isaac Newton dianggap sebagai sarana ampuh
untuk mewujudkan optimisme ini. (Budi Hardiman 2007: 97). Program zaman
pencerahan adalah emansipasi dan kebebasan. Emansipasi maksudnya lepasnya
manusia dari ketergantungan pada tradisi dan rasa takut akan tabu-tabu
religius. Dengan ini pencerahan mendorong sekularisasi, yakni dibebaskannya
bidang-bidang kemasyarakatan dari simbol-simbol keagamaan. Tujuan dari
emansipasi dan kebabasan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dimaksudkan sebagai
perwujudan nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh dan universal di dalam
susunan masyarakat yang adil. Arus pemikiran seperti inilah yang kemudian
membentuk apa yang disebut sebagai mentalitas pencerahan. Apakah mentalitas
pencerahan itu? Mentalitas pencerahan adalah mentalitas yang terkait dengan
semangat zaman pencerahan, di mana banyak penulis dan ilmuwan berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan dan rasio jauh lebih penting dari agama dan tradisi. Pendeknya,
mentalitas pencerahan adalah mentalitas yang mengagungkan kemampuan rasio.
Atau dengan kata lain
dapat dirumuskan sebagai berikut: mentalitas pencerahan adalah sikap mental
manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan
sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat)
menjadi kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu ada dorongan untuk menguasai
alam. Semangat untuk menguasai alam ini mendorong manusia untuk memajukan ilmu
dan teknologinya. Manusia selalu berusaha untuk berkreasi dan berinovasi. Dan
dampaknya adalah ilmu pengetahuan dan tekhnologi terus berkembang, bukan hanya
di Barat tetapi akhirnya terus menyebar ke seluruh belahan dunia. Tujuan dari
penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi oleh manusia tidak lain untuk
menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”.
Faktor-faktor yang
penting bahkan menentukan tumbuhnya mentalitas pencerahan adalah tekanan
filsafat Yunanai atas rasionalitas, gambaran Kitab Suci mengenai manusia yang
“berkuasa atas ikan di laut, dan atas unggas di udara, dan atas setiap makhluk
hidup yang bergerak di atas bumi”, dan apa yang disebut etika kerja Protestan
yang secara historis melahirkan semangat kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika
Utara. Semua nilai yang kita anut sebagai definisi kesadaran modern seperti
kebebasan, kesamaan, hak asasi manusia, keluhuran individu, hormat terhadap
privasi, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, dan proses hukum yang adil,
semua itu secara genetis tidak dapat dipisahkan dari mentalitas pencerahan.
Pencerahan sebagai
kebangkitan manusia, sebagai penemuan kemampuan manusia untuk mengubah dunia,
dan sebagai kesadaran akan keinginan manusia untuk menjadi ukuran dan tuan bagi
semua hal, masih merupakan tataran moral paling berpengaruh di dalam kebudayaan
politis zaman modern. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa ciri khas yang
paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari
rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan
menaklukan (alam). Hal itu telah menjadi ideologi dominan Dunia Barat moden.
Kepercayaan akan kemajuan, akal dan individualisme memacu Dunia Barat modern
untuk terus bergerak maju menuju modernitas. II.Dampak Mentalitas Pencerahan
Modernisasi pada dirinya adalah perwujudan dari mentalitas pencerahan.
Modernisasi membawa banyak buah yang baik bagi kehidupan manusia dan menjadi
warisan dunia yang tidak lagi bisa diklaim sebagai milik suku, agama, atau
bangsa tertentu seperti yang telah disinggung di atas. Dia telah menjadi
warisan umum umat manusia.
Meski pada saat ini negara-negara industri
maju masih didominasi oleh belahan bumi bagian barat, tetapi kita tidak bisa
menutup mata akan kemajuan-kemajuan yang dicapai belahan bumi lainnya.
Penguasaan teknologi hingga tingkat senjata nuklir dan senjata pemusnah masal
saat ini menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru bumi. Pembangunan
industri-industri berskala multinasional tidak lagi didominasi negara-negara
tertentu. Sejalan dengan itu kemajuan yang dicapai dalam bidang perekonomian,
pendidikan, militer, komunikasi, juga pertanian menyebar ke berbagai negara di
setiap benua. Kondisi ini menopang terbentuknya apa yang oleh J. Baird
Callicott sebagai peradaban industrial global. Paparan ini menunjukkan bahwa
mentalitas pencerahan yang dibahas dalam tulisan ini telah menyebar ke
mana-mana. Kesadaran bahwa manusia menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal –
sebagai anak kandung pencerahan - membawa implikasi yang dalam bagi kehidupan manusia
secara keseluruhan termasuk dalam relasinya dengan alam.
Mentalitas pencerahan yang menyatakan bahwa
“pengetahuan adalah kuasa” (Francis Bacon), tidak terhindarkannya secara
histories kemajuan manusia (August Comte), atau “humanisasi alam” (Karl Marx),
telah menjadi sumber pemikiran kompetisi sosial Darwinisme. Semangat
kompetitif, yang didukung oleh cara membaca yang sangat sederhana atas prinsip
survival of the fittest (yang paling dapat menyesuaikan diri yang bertahan),
selanjutnya memberi dasar kokoh bagi terjadinya imperialisme baik atas suku, bangsa,
budaya, maupun alam.
Pada level ini mentalitas pencerahan
memmetamorfosiskan dirinya ke dalam bentuk persaiangan demi kekayaan dan
kekuasaan. Maka eksploitasi baik atas sesama manusia maupun atas alam adalah
jalannya. De facto, pertumbuhan hebat dari Dunia Barat modern tidak lepas dari
wawasan-wawasan pencerahan seperti kepentingan diri, perluasan, dominasi,
manipulasi, dan kendali. Dalam konteks inilah kita bisa pahami ekspansi
persaiangan bisnis, industri global, militer, teknologi dan lain-lain dewasa
ini. Peradaban industri global selain membawa banyak kemajuan yang berguna bagi
manusia juga membawa sertanya dampak buruk. Sebut saja misalnya buangan limbah
industri yang telah mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia beracun
sintetik dan unsur-unsur radioaktif, juga mengintensifkan macam-macam perlakuan
yang salah terhadap lingkungan yang sebetulnya telah ada dalam kegiatan manusia
pra-industrial. Dengan munculnya kebudayaan manusia industrial dengan jangkauan
global, pengaruh manusia pada alam telah meningkat dalam kekuatan, intensitas
dan di mana-mana, sehingga dalam skenario terburuk yang dapat dibayangkan,
manusia benar-benar merusak lingkungan hidup sekaligus dirinya sendiri.
Berikut ini beberapa ciri-ciri peradaban
industrial dalam relasi dengan alam yang membawa dampak buruk bagi alam dan
manusia sendiri (tidak semuanya saya ambil): Peran manusia: menaklukan alam,
dominasi atas alam, individu vs dunia, superioritas dan angkuh, pengaturan
sumber. Nilai-nilai dalam hubungan dengan alam: alam sebagai sumber,
eksploitasi atau menjaga, antroposentris/humanis, alam punya nilai sebagai
alat. Pendidikan dan penelitian: disiplin spesialisasi, ‘pengetahuan bebas
nilai’, pemisahan sains-kemanusiaan. Sistem ekonomi: perusahaan multinasional,
mengandaikan kelangkaan, kompetisi, kemajuan tanpa batas, ‘pembangunan
ekonomi’, tidak memperhitungkan alam.
Teknologi: ketergantungan pada bahan bakar
fosil, teknologi demi keuntungan, beban sampah berlebihan,
eksploitasi/konsumerisme Pertanian: Pertanian monokultur, agribisnis,
perkebunan pabrik, pupuk kimiawi dan pestisida, hibrida dengan hasil banyak
tapi rapuh. Semua yang disebut di atas menunjukkan bahwa dampak mentalitas
pencerahan merasuk ke segala aspek kehidupan dan oleh karena itu maka eskalasi
kerusakan alam sebagai akibatnya juga akan sangat luas dan intensif.
Dari situ kita dapat
melihat bahwa keberlangsungan hidup kita, alam beserta seluruh ekosistem di
dalamnya benar-benar terancam. III.Kebutuhan Akan Suatu Tata Dunia Baru Dengan
ungkapan yang sangat menarik Tu Wei-ming menggambarkan dengan baik dilema
antara mewujudkan impian manusia dan hasratnya untuk terus maju dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan bidang-bidang lainnya dengan realitas
bumi tempat hidup ini berlangsung. Dia mengatakan, “kita dapat menatap
bintang-bintang yang jauh, tetapi kita berakar di sini di bumi dan telah
benar-benar menyadari kerapuhannya dan semakin hati-hati dengan kerentanannya.”
Kemudian dia melanjutkan, “karena cakrawala pengetahuan kita berkembang, kita
belajar bahwa ada batas-batas bagi kecepatan dan kuantitas pertumbuhan ekonomi
kita, bahwa sumber-sumber alam dapat habis, bahwa kemerosotan lingkugan kita
mempunyai akibat-akibat yang menghancurkan bagi keseluruhan masyarakat manusia,
bahwa kehilangan gen-gen, spesies-spesies, dan ekosistem secara serius
membahayakan keseimbangan sistem penyangga kehidupan kita, dan bahwa syarat
minimum bagi keberlangsungan hidup manusia menuntut tindakan nyata atas hidup
yang berkelanjutan di dalam masyarakat yang amat terindustrialisasi.”
Kesadaran ini mendorong banyak pihak seperti
para ekolog, insinyur, ekonom, dan ahli ilmu bumi yang berwawasan lingkungan
(baca: jauh ke depan) untuk mengembangkan suatu kesadaran diri kritis secara
komunal untuk “menyelamatkan bumi di ruang angkasa” (saving spaceship earth),
telah menghimbau para penyair, rohaniwan, seniman, dan filsuf agar
berpartisipasi aktif dalam kerja sama intelektual dan spiritual untuk membuat
habitat kita, rumah kita, aman bagi generasi mendatang. Kebutuhan untuk
memusatkan perhatian kita pada etika, nilai, dan agama sebagai cara “memelihara
planet dan mengurangi tingkat pemiskinannya” sungguh mendesak. Untuk memelihara
planet kita, Tu Wei-ming melihat dua hal yang perlu dilakukan. Pertama,
penguatan etika dan nilai, dan kedua, kerja sama spiritual. Dari segi etika Tu
melihat bahwa etika yang sama sekali berbeda atau sistem nilai baru yang
terpisah atau bebas dari mentalitas Pencerahan tidaklah realistis dan tidak
autentik. Artinya kita hanya tinggal membenahi apa yang diabaikan oleh proyek
pencerahan karena terlalu fokus pada upaya untuk kepentingan diri. Kemudian
kita perlu menyelidiki sumber-sumber spiritual yang dapat membantu kita
memperluas jaringan proyek Pencerahan, memperdalam kepekaan moralnya, dan, bila
perlu, secara kreatif mengubah kekangan-kekangan turun-temurun untuk seutuhnya
mewujudkan kemampuannya sebagai suatu pandangan dunia bagi komunitas manusia
secara keseluruhan.
Tu mensinyalir bahwa kerusakan
masif yang diakibatkan oleh mentalitas Pencerahan disebabkan oleh tidak adanya
ide mengenai komunitas, apalagi komunitas global. Persaudaraan, yang merupakan
ekuivalen fungsional komunitas dari ketiga keutamaan utama dari Revolusi
Prancis, kurang diperhatikan di dalam pemikiran ekonomis, politik, dan sosial
Dunia Barat modern. Kesediaan untuk membiarkan ketidaksamaan, kepercayaan akan
kekuatan demi kepentingan diri, dan egoisme yang merajalela telah meracuni
kehendak baik kemajuan, akal, dan individualisme. Maka itu, Tu melihat bahwa
untuk menciptakan suatu tata dunia baru pertama-tama perlu dirumuskan maksud
universal bagi pembentukan suatu komunitas global. Maksud universal bagi
pembentukan suatu komunitas global dapat mengganti prinsip kepentingan diri
dengan suatu perintah emas yang baru (yang sejatinya sudah tercantum dalam
Alkitab): “Janganlah melakukan bagi orang lain apa yang anda tidak ingin orang
lain lakukan bagimu”. Perintah emas yang dirumuskan secara negatif ini perlu
ditambahkan dengan prinsip positif: “Untuk menegaskan diri, saya harus membantu
orang lain menegaskan dirinya; untuk membentuk diri, saya harus membantu orang
lain membentuk dirinya.” Dalam konteks penyelamatan lingkungan dari bahaya
tambang di Manggarai dapat dirumuskan demikian, “untuk merasakan nikmatnya
hidup di alam yang sejuk, kaya akan air minum, pantainya yang indah, adatnya
yang terjaga, saya harus membantu orang lain untuk merasakan nikmatnya hidup di
alam yang udaranya sejuk, kaya akan air minum, pantainya indah, dan
adat-istiadatnya yang terjaga”.
Merasa menjadi bagian
komunitas, berdasar kesadaran moral yang kritis dan reflektif serta
berperhatian ekologis, mungkin muncul sebagai hasilnya. Tu menunjukkan tiga
sumber spiritual yang dapat menjamin visi sederhana tadi. Sumber pertama,
meliputi tradisi-tradisi etik-religius Dunia Barat modern, khususnya filsafat
Yunani, Yudaisme, dan Kristianitas. Kenyataan bahwa ketiganya telah membantu
melahirkan mentalitas pencerahan mendorong mereka memeriksa kembali hubungan mereka
dengan munculnya Dunia Barat modern untuk menciptakan ruang lingkup publik baru
dalam penilaian nilai-nilai khas Barat. Konsekuensi-konsekuensi negatif yang
tidak diinginkan dari munculnya Dunia Barat modern sangat merongrong makna
komunitas yang implisit di dalam ide Helenistik mengenai warga negara, dalam
ide Yudais mengenai perjanjian, dan dalam ide Kristiani mengenai kasih
universal yang secara moral berbentuk perintah bagi tradisi-tradisi besar ini
untuk merumuskan kritik mereka atas antroposentrisme yang sangat mencolok
melekat dalam proyek Pencerahan. Sumber spiritual kedua, peradaban Hinduisme,
Jainisme, Taoisme di Asia Timur, dan Islam. Tradisi-tradisi etik-religius ini
menyediakan sumber-sumber yang lengkap dan dapat dipraktekkan dalam pandangan-dunia,
upacara, lembaga, model pendidikan, dan pola hubungan manusia. Asia Timur yang
industrial, di bawah pengaruh budaya Konfusian, telah memperkembangkan suatu
peradaban modern yang kurang bermusuhan, kurang individualistik, dan kurang
berkepentingan diri.
Sumber spiritual
ketiga, melibatkan tradisi-tradisi asli: tradisi-tradisi religius Amerika Asli,
Hawai, dan sejumlah suku asli, termasuk di sini tradisi dan adat-istiadat
Manggarai secara khusus filosofi hidup orang Manggarai “mbarun one lingkon pe’ang”.
Filosofi ini dengan sangat jelas menekankan pentingnya membangun kehidupan yang
harmoni dengan alam. Orang Manggarai tidak bisa lepas sama sekali dari alam,
dari uma bate duat-nya. Cara berada orang Manggarai di bumi ini adalah
keterikatan antara rumah dan lingko sebagai tempat dari mana mereka memperoleh
kehidupan.
Tradisi-tradisi ini telah menunjukkan dengan
kekuatan fisik dan keindahan estetik bahwa hidup manusia dapat bertahan sejak
Zaman Neolitik. Bentuk khas tradisi-tradisi asli adalah suatu pemahaman
mendalam dan pengalaman keberakaran. Masing-masing tradisi religius asli
ditanamkan pada tempat konkret yang menyimbolkan suatu cara pemahaman, gaya
berpikir, cara hidup, dan sikap, serta pandangan-dunia. Hasil dari keberakaran
orang-orang primitif pada lokalitas yang konkret adalah pengetahuan mereka yang
akrab dan detail mengenai lingkungan mereka; bahkan batas antara habitat
manusia dan alam ditiadakan. Di dalamnya ada kesadaran akan ketimbal-balikan
dan saling menerima atara dunia antropologis dan kosmos. Maka, yang kita perlu
pelajari dari mereka adalah penataan kembali secara mendasar cara menangkap,
berpikir, dan hidup kita; kita sangat membutuhkan suatu sikap baru dan suatu
pandangan-dunia baru. Selain itu, aspek lain yang dapat kita petik dari cara
hidup primitif adalah penyatuan di dalam interaksi manusiawi sehari-hari.
Megikuti karakterisasi Huston Smith, apa yang mereka tunjukkan adalah
partisipasi bukannya kendali dalam motivasi, pemahaman empatik bukannya
pemahaman empirisis dalam epistemologi, hormat terhadap yang transenden
bukannya dominasi atas alam dalam pandangan-dunia, dan kepenuhan bukannya
keterasingan dalam pengalaman manusia.
Dengan menjalankan
praktek hidup yang mengombinasikan etika dan nilai serta unsur-unsur
spiritualitas maka diharapkan manusia secara mendalam disatukan dengan alam:
bersaudara dengan semua makhluk hidup di planet Bumi dan secara sistematik
saling terkait dengan mereka. IV.Kesimpulan Saya ingin menutup tulisan ini
dengan membuat beberapa kesimpulan ringkas seperti berikut: Pertama, Mentalitas
pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri
atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa
depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Sejalan dengan
itu ada dorongan untuk menguasai alam. Semangat untuk menguasai alam ini
mendorong manusia untuk memajukan ilmu dan teknologinya. Maka, ciri khas yang
paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari
rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan
menaklukan (alam). Kedua, Mentalitas pencerahan seperti yang digambarkan di
atas memetamorfosiskan dirinya ke dalam bentuk persaiangan demi kekayaan dan
kekuasaan. Jalan menuju persaiagan demi kekayaan dan kekuasaan adalah
eksploitasi baik atas alam beserta isinya maupu atas sesama manusia.
Eksploitasi pada
dirinya tidak pernah adil terhadap objek yang dieksplotasi. Ketiga, Eksplotasi
yang masif dan ekskalatif atas alam terang saja menyebabkan ketidak-seimbangan
ekosistem alam dan kerusakan alam yang parah. Sebagai contoh, buangan limbah
industri telah mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia beracun sintetik
dan unsur-unsur radioaktif; Perusakan hutan atau usaha pertambangan
meninggalkan kehancuran atas alam dan komunitas manusia sendiri. Keempat, Untuk
memulihkan alam, atau paling tidak untuk mempertahankan eksistensinya seperti
sekarang ini diperlukan adanya suatu upaya konkret untuk penguatan kesadaran
akan komunitas (global) dan hubungan kesaling-tergantungan antara alam beserta
seluruh isinya dengan manusia. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran akan etika
dan nilai dalam relasi dengan alam serta kerja sama spiritual antara berbagai
tradisi spiritual seperti tradisi spiritual Yunani kuno, Yudaisme dan
Kristianitas di Barat dengan Asia dan Asia Timur yakni peradaban Hinduisme,
Jainisme, Taoisme, dan Islam serta tradisi-tradisi asli: tradisi-tradisi
religius masyarakat lokal seperti Manggarai, Timor, Dayak, Amerika Asli, Hawai,
dan sejumlah suku asli lainnya. Kelima, Secara kasat mata memang mentalitas
pencerahan mempunyai andil yang sangat besar atas terjadinya bencana ekologis
selama beberapa dekade terakhir. Hal itu terjadi karena adanya
ketidakseimbangan dalam penghayatan nilai-nilai modernisme akibat egoisme dan
nafsu untuk berkuasa dan menguasai dari manusia. Keenam, Secara filosofis
kebebasan yang didiperjuangkan semenjak Aufklärung akhirnya menjadi kebebasan
semu manakala dampak dari penerapan kebebasan itu membawa manusia kepada
penderitaan dan penghancuran diri akibat kerusakan atas alam sebagai rumah
tempatnya hidup.
Maka itu, kebebasan harus pula ditransformasi
dari kebebasan untuk menguasai dan eksploitasi atas alam menjadi kebebasan
untuk menyelamatkan bumi rumah kita dari kehancuran demi generasi sekarang dan
yang akan datang. Ketujuh, Kesadaran untuk menyelamatkan semesta alam harus
menjadi kesadaran bersama umat manusia. Selama kesadaran itu hanya menjadi
kesadaran parsial para korban dan pencinta lingkungan maka impian untuk
menyelamatkan bumi dari kehancurannya akan tetap tinggal impian. Kolaborasi
tradisi spiritual yang diusulkan Tu tidak akan berpengaruh bila kesadaran
spiritual para penganut tidak dikonversi menjadi praksis spiritual dalam
kehidupan sehari-hari. Karena itu saya melihat bahwa proyek penyelamatan
semesta alam dan seluruh ekosistem di dalamnya termasuk manusia bukanlah proyek
sederhana melainkan proyek besar yang memerlukan ketahan fisik dan konsistensi
dalam memwujudkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar