1. Pandangan
Ontologi
Dengan ontologi, dapat
diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran
rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana
realita itu ada dimana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita
beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan
diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap
oleh panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain di
sekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas
dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut,
dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita
sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas
menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan
dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan
diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.
2. Pandangan
Epistimologis
Kajian epsitimologis
aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan
perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam
nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami
realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita
terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan.
Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan
akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga
berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan denganself
evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya.
Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan
ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan
bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang
kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun
agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki
hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau
pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan
pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran
(ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme.
Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan
kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan
induktif.
3. Pandangan
Ontologis
Dalam proses interaksi
sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan
manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral,
akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian,
yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope)
tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Aliran
rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural
yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip
nilai teologis. Hakikat manusia adalah pancaran yang potensial yang berasal
dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran
dan keburukan dapat diketahuinya. Ke¬mudian, manusia sebagai subyek telah
memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya.
Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya apabila tidak dikuasai oleh hawa nafsu
belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang
bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam
pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari
praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi
politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan
tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam
kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan
sendiri.
Aristoteles memandang
bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan
kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan
pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar