Kamis, 29 Desember 2016

‘’Pandangan Rekonstruksionisme’’


1.      Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain di sekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.
2.      Pandangan Epistimologis
Kajian epsitimologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan denganself evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
3.      Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah pancaran yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke¬mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya apabila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar