Sesudah kita melihat hubungan antara nalar dan wahyu, kita dapat menanyakan
sumbangan filsafat terhadap agama. Hubungan antara filsafat dan agama dalam
sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada
kalanya para agamawan merintis perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang
beragama merasa terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam.
Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan sombong, sok tahu, meremehkan
wahyu dan iman sederhana umat.
Kadang-kadang juga terjadi bentrokan, di mana filosof menjadi korban
kepicikan dan kemunafikan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Socrates
dipaksa minum racun atas tuduhan atheisme padahal ia justru berusaha mengantar
kaum muda kota Athena kepada penghayatan keagamaan yang lebih mendalam.
Filsafat Ibn Rusyd dianggap menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia ditangkap,
diasingkan dan meninggal dalam pembuangan. Abelard (1079-1142) yang mencoba
mendamaikan iman dan pengetahuan mengalami pelbagai penganiayaan. Thomas
Aquinas (1225-1274), filosof dan teolog terbesar Abad Pertengahan, dituduh
kafir karena memakai pendekatan Aristoteles (yang diterima para filosof Abad
Pertengahan dari Ibn Sina dan Ibn Rusyd). Giordano Bruno dibakar pada tahun
1600 di tengah kota Roma. Sedangkan di zaman moderen tidak jarang seluruh
pemikiran filsafat sejak dari Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan
atheis.
Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat
maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan
manusia paling dasar tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang makna
kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar manusia,
tentang makna kehidupan, tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan
fundamental atau sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta
dibersihkan dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan
filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah sebesar
dewasa ini.
Sebaliknya agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa sekularisasi
yang dirasakan sebagai ancaman malah membuka kesempatan juga. Kalau
sekularisasi berarti bahwa apa yang duniawi dibersihkan dari segala kabut
adiduniawi, jadi bahwa dunia adalah dunia dan Allah adalah Allah, dan
dua-duanya tidak tercampur, maka sekularisasi itu sebenarnya hanya menegaskan
apa yang selalu menjadi keyakinan dasar monotheisme. Sekularisasi lantas hanya
berarti bahwa agama tidak lagi dapat mengandalkan kekuasaan duniawi dalam
membawa pesannya, dan hal itu justru membantu membersihkan agama dari
kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah suatu legitimasi bagi sekelompok
orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama dibebaskan kepada hakekatnya yang
rohani dan adiduniawi (agama, baru menjadi saksi kekuasaan Allah yang
adiduniawi apabila dalam mengamalkan tugasnya tidak memakai sarana-sarana
kekuasaan, paksaan dan tekanan duniawi. )
Dengan demikian, dialog antara filsafat dan agama
justru akan membawa keuntungan bagi keduabelah pihak.
Filsafat sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan empat
pelayanan pada agama :
Pertama. Salah satu
masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi.
Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya
terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa
manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering
mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana
wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu
para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya
tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen
merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam
teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah
itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia
seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata
sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu.
Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai
nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari
jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan
muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar
secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam
memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat
selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba
mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan
wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak
disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi).
Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu,
dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari
filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah
kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal
yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea",
pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat
membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat
mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus)
mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan
kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah
hanyalah satu.
Ketiga, filsafat dapat membantu
agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada
waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam
wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi
tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua
kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri
pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah
dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan
prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada
masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang
menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan
ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Pelayanan keempat yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan
melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi.
Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca
tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan,
agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu
kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup,
bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara
kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok
kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap
pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak
sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa
yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan
argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak
secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan
berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar.
Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan,
apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu
Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk
membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang
sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah
interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan
dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya,
melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang
sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar