Jumat, 23 Desember 2016

Ilmu dan Moral


Penalaran otak orang itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya, namun meraka itu curang dan serakah.... pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh menggelitik nurani kita. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,maka benar makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia mempunya penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Menyimak masalah ini, ada baiknya kita memperhatikan imbauan Profesor Ice Partadiredja dalam pidato pungkuhannya selaku guru besar ekonomi di universitas gajah mada, yang mengharapkan munculnya ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan.
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertama pertumbuhannya ilmu sudah di kaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bakan saja di gunakan untuk menguasai melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dengan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh yang berhasil di kembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya:manusialah yang akhirnya yang harus menyasuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya.manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaanya dan kebahagiaannya.
Sebenarnya sejak pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam persfektifyang berbeda. Ketika copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar menglilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan dipihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan  (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengendalian inkuisisi galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, di paksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi yang sebenar-benarnya lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada mesalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif ini, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan di pergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang di junjungnya. Buku erich Schumacher yang berjudul small is beautiful, umpamanya, merupakan salah satu usaha untuk mencari alternatif penerapan teknologi yang lebih bersifat manusiawi.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuawan terbagi ke dalam dua golongan pendapat, golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; aqpakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah di pergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan yang kedua malah sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metfisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan dalam pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar carles darwin, adalah ketika  ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah hidup manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus di tunjukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia.
Sejarah manusia di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sekrates di paksa minum racun dan john huss di bakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: manusia tidak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar