Penalaran otak orang itu luar biasa,
demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya, namun meraka itu curang
dan serakah.... pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh
menggelitik nurani kita. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita
menemukan kebenaran,maka benar makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia
mempunya penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi
analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula
kita berdusta? Menyimak masalah ini, ada baiknya kita memperhatikan imbauan
Profesor Ice Partadiredja dalam pidato pungkuhannya selaku guru besar ekonomi
di universitas gajah mada, yang mengharapkan munculnya ilmu ekonomi yang tidak
mengajarkan keserakahan.
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertama pertumbuhannya ilmu sudah di
kaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bakan saja di gunakan untuk menguasai
melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dengan menguasai mereka. Bukan
saja bermacam-macam senjata pembunuh yang berhasil di kembangkan namun juga
berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain,
perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi
yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru
sebaliknya:manusialah yang akhirnya yang harus menyasuaikan diri dengan
teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan
kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan
eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh
manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya.manusia sering
dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam
kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaanya dan kebahagiaannya.
Sebenarnya sejak pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral namun dalam persfektifyang berbeda. Ketika copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar menglilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan
oleh ajaran agama, maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral (yang
bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu
ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan dipihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan di antaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi
pada pengendalian inkuisisi galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh
pengadilan agama tersebut, di paksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi yang sebenar-benarnya
lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada mesalah moral. Artinya, dihadapkan
dengan ekses teknologi yang bersifat negatif ini, maka masyarakat harus
menentukan teknologi mana saja yang akan di pergunakan dan teknologi mana yang
tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus
menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai
budaya yang di junjungnya. Buku erich Schumacher yang berjudul small is
beautiful, umpamanya, merupakan salah satu usaha untuk mencari alternatif
penerapan teknologi yang lebih bersifat manusiawi.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak ini para ilmuawan terbagi ke dalam dua golongan pendapat,
golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya; aqpakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik,
ataukah di pergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan yang kedua malah
sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah
terbatas pada metfisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan dalam
pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas
moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar carles darwin,
adalah ketika ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol
pikiran kita.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa
ilmu dapat mengubah hidup manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti
pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering).
Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara
moral harus di tunjukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat manusia.
Sejarah manusia di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya demi mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sekrates di paksa minum racun dan john huss di bakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: manusia tidak pernah urung di halangi untuk menemukan
kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar