Secangkir
kopi menemani malamku bersama seorang kawan di pulau cangkir. Sebuah pulau
kecil yang kini terhubung dengan daratan kronjo Tangerang. Di tepi laut pulau
cangkir terdapat makam yang dikeramatkan masyarakat setempat. Makam Pangeran
Cangkir. Yang dikenal sebagai Pangeran Jaga lautan. Kawanku bercerita tentang
asal muasal pulau tersebut, dan keberadaan sang Pangeran. “Ia sengaja
ditempatkan Sultan Maulana Hasanuddin di daerah pesisir Kronjo yang pada masa
itu menjadi jalur transportasi perdagangan antara Banten-Tirtayasa, Kronjo,
Mauk, Cisadane-dan Jayakarta (sekarang menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta .
Dahulu, pulau ini terpisah dari daratan.
Untuk mencapai pulau ini, kami harus menggunakan
sampan. Baru beberapa tahun ini kemudian dibuatkan daratan untuk menyambungkan
pulau ini dengan daerah Kronjo,” ujar Ube, bak pemandu wisata. Mendengar kisah
sang pangeran, aku jadi teringat tentang Syehk Priok, di Pelabuhan Tanjung
Priok Jakarta, dan Syekh Jamaludin di Pelabuhan Merak. “Mengapa di hampir
setiap pelabuhan terdapat makam yang dikeramatkan?” tanyaku dalam hati.
Mungkinkah mereka ini awalnya adalah kepala pelabuhan, yang kebetulan punya
keahlian agama, dan meengajarkannya kepada penduduk sekitar. Kuurai lagi cerita
tentang penyebaran Islam di daerah pesisir yang kerap kubaca, atau kudengar.
Embah Priok, konon hadir di Tanjung Priok pada abad ke 17 dua abad setelah
penguasaan Banten dari Wilayah Kerajaan Sunda Padjajaran oleh Sultan Maulana
Yusuf. Saat itu Batavia berada dalam genggaman Kasultanan Banten. Sementara
Pangeran Cangkir yang berjuluk Pangeran Jaga Lautan, konon mendiami pulau yang
luasnya hanya sepetak sawah itu, atas perintah Sultan Mauna Hasanuddin Banten.
Dan Syekh Jamaludin, adalah utusan Sultan Banten, yang juga dikenal sebagai
pejuang perlawanan terhadap Portugis. kesamaan pola yang terlihat dari
penguasaan pelabuhan-pelabuhan tersebut oleh para tokoh –kemungkinan ulama -
yang kemudian dikeramatkan itu. Bahwa lautan harus dijaga secara seksama.
Para
tokoh lampau itu sadar benar pentingnya kelautan bagi Nusantara. Bahkan bisa
jadi mereka di tempatkan di berbagai pulau kecil itu, bersama beberapa
prajurit. Saat itu juga mungkin ada semacam kesepakatan atau konsensus dari para
ulama dan Sultan, tentang pentingnya kekuatan maritim bagi kelangsungan
penyebaran Islam. Beberapa tahun lalu, ditemukan kerangka Gajah dan beberapa
pernak-pernik seperti piring hiasan yang berasal dari Cina di desa ketapang,
yang terletak di selatan Pulau Cangkir, menguatkan asumsi tersebut. Berbeda
dengan pemerintahan Republik Indonesia yang abai terhadap hal itu.Dalam hal
ini, kita patut berterimakasih kepada negara Jiran, yang turut menydarkan
pentingnya kekuatan maritim bagi NKRI. Kita juga patut berterimakasih pada Gus
Dur, yang sejak lama meneriakkan hal itu, terlebih di era pemerintahannya yang
singkat, Dia meletakkan dasar-dasar kemaritiman RI. Kalau saja waktuku cukup
luang, ingin juga mencari tahu tentang kemungkinan adanya peninggalan senjata-senjata
–yang biasanya kemudian dikeramatkan juga, atau menjadi semacam pusaka-
peninggalan Pangeran Cangkir. Jika memang ada, maka kemungkinan strategi
ekspansi laut oleh para ulama itu merupakan sebuah konsensus, semakin besar.
Pulau Cangkir dan Pulau Laki Secara geografis,
Pulau Cangkir merupakan pulau terdekat dengan daratan. Terletak di sebelah
barat Desa Kronjo. Meski berada hampir di tengah laut, pulau itu masih terlihat
kokoh dari jauh. Sementara daratan Kronjo sendiri mengalami abrasi di berbagai
sisi. Jalan menuju ke pulau kecil itu juga cukup terjal. “Padahal ini termasuk
daerah wisata di Tangerang,” kata Ube. Tak jauh dari Pulau Cangkir terdapat
Pulau Laki. Letaknya di sebelah barat Pulau Cangkir. Konon Pulau Laki merupakan
Gudang rempah-rempah milik VOC. Di sana, juga konon, terdapat beberapa gedung
bekas peninggalan VOC. “Ada Night Club, atau semacam Bar nya juga loh, vila dan
gudang. Tapi sekarang sudah kosong semua. Tak ada penduduk yang mau mendiami
pulau itu,” ujarnya. Lantas kenapa dinamai pulau Laki, dan di mana Pulau
Ceweknya? Tanyaku. “Mungkin karena di sana tempat kompeni ‘ngalakian’ awewe.
Jadi para Cewek yang ditarik ke situ,” Kata Ube. Hmm, para Kompeni ternyata
penganut Patrialkal juga. Mereka kurang menghormati perempuan! Cerita tentang
pulau Laki menggelitik khayalanku. Kalau bangunan-bangunan di sana masih kokoh,
mengapa tidak diberdayakan. Untuk tempat wisata horor misalnya. Semacam rumah
hantu, yang menjual berbagai wisata pemicu adrenalin. Atau bekas-bekas pub itu,
digunakan saja lagi untuk tempat hiburan malam. Atau dijadikan arena lokalisasi
perjudian, dan berbagai hiburan yang menjual hingar-bingar syahwati. Jadi para
pecinta hiburan malam akan menikmati berbagai hiburan sekaligus di sana,
termasuk hiburan dari para hantu kompeni –jika memang ada-. Lokalisasi tempat
hiburan di Pulau Laki kupikir lebih masuk akal, ketimbang tercecernya tempat
hiburan itu, di area strategis, yang tak jauh dari pemukiman warga. Tapi
khayalanku ini harus kusudahi, mengingat rendahnya komitmen dan apresiasi
pemerintah terhadap aset-aset wisata. Jangankan merubah Pulau jadi aset wisata,
menyediakan akses ke tempat wisata yang ada saja, pemerintah kesulitan. Yang
ada, pemerintah kita paling jago menjual asetnya.
Lihat saja Pulau
Umang, atau Krakatau Steel (KS) yang diobral itu. Waduh, bicara KS, jadi ingat
semasa tinggal di Cilegon. Saat itu, aku sering mendapati berbagai tempat
hiburan malam itu dipenuhi para remaja usia pelajar.Pengunjungnya kerap meluber
hingga di pinggir jalan raya. Pemandangan yang bertolak belakang dengan gaya
pemerintahannya, yang cenderung menjual dalil-dalil keagamaan untuk kepentingan
politis. Aku sempat heran, para ulama di sana begitu vokal meneriakkan
dukungan-dukungan politis bagi penguasa setempat, tapi terdiam, saat ditanya
tentang gaya hidup bebas yang dianut masyarakatnya. Konsekwensi industrialisasi
Cilegon memang tak bisa memungkiri kehadiran tempat hiburan.Dan idealnya, gaya
kepemimpinan di Cilegon meniru Alm. Ali Sadikin, yang berani untuk tidak
bersikap munafik dalam mengakui berbagai tempat maksiat itu sebagai aset
daerah. Tidak bersikap momoyok, ngalebok (mencela, tapi memakan juga hasilnya).
A, Malik Mughni /malikmughni seorang pembelajar kehidupan, yang tengah mencari
kesejatian hidup, kehidupan, dan penghidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar