1. Sejarah Nama Kresek
Dari bermacam sumber yang sampai kepada penulis setidaknya ada tiga riwayat
lisan yang menjadi sejarah penamaan Daerah kresek. Yang pertama: bahwa Kresek
adalah nama orang. Hal ini di kaitkan dengan nama seseorang yang dikubur di
Gili Duhur, belakang Kantor kecamatan Kresek, yang di kenal dengan nama
Ki buyut Kresek. Yang kedua: Kresek adalah nama pohon yang diberi nama dengan
nama pohon Kresek. Dahulu kala ada pohon kresek yang begitu besar di Kresek. Yang
ketiga: Kresek adalah nama alat untuk mewadahi sesuatu karena dulu banyak para
ulama dan bangsawan yang mengasingkan diri ke daerah kresek ketika terajdi
kekacauan politik di kraton surasowan Banten.
2. Letak geografis
Secara geografis, Kecamatan Kresek berada di ujung Barat sebelah utara dari
Kabupaten Tangerang. Wilayahnya berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di
sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran kecamatan Kresek) sebelah Utara.
Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat menjadi batas antara Kresek dan
kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang. Dalam tulisan ini yang dimaksud
dengan Kresek bukanlah Kresek sebagai nama sebuah kecamatan tapi lebih spesifik
Kresek sebagai sebuah desa yang terdiri dari masyarakat yang sebagian besar
berasal dari satu keturunan yang kini telah mencapai jumlah sekitar limabelas
ribu jiwa, dengan menyertakan beberapa kampung yang walaupun secara letak
formal pemerintahan berada di luar Kresek, tapi ketika ditilik dari sudut
pandang adat dan kekeluargaan masih berada dalam satu rumpun yang sama.
3. Bahasa
Masyarakat Kresek khususnya ibu Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek,
dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa
Jawa-Banten ini berkembang selain karena letaknya dengan ibu kota kesultanan
Banten pada zaman dahulu yang begitu dekat, juga karena memang sebagian
masyarakat Kresek adalah keturunan bangsawan kraton Surasowan Banten yang nanti
akan di jelaskan dalam bagian pembahasan asal-usul masyarakat Kresek.
4. Asal-Usul Masyarakat Kresek
Masyarakat Kresek diperkirakan telah menjadi suatu komunitas penduduk
tetap pada awal permulaan berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah
Banten utara lainnya seperti: Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk.
Paling tidak beberapa tahun setelah daerah-daerah tersebut. Hal yang demikian
itu bila jika benar bahwa Pangeran Jaga Lautan bin Maulana hasanuddin tinggal
dan menetap di sekitar kawasan Pulo cangkir seperti letak makamnya saat ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa walau makam P. jaga lautan terletak di pulo
Cangkir tetapi rumah kediamannya terdapat di cakung bersama dengan anaknya
yaitu Raden kenyep yang merupakan Bapak moyang dari masyarakat Kresek. Jika ini
benar, maka masyarakat Kresek lebih tua dari daerah sekitarnya.
Raden Kenyep mempunyai banyak anak yang semuanya menggunakan nama depan
Cili. Entah nama Cili ini adalah nama asli atau hanya gelar belum ada
penelitian lebih lanjut. Dalam buku sejarah Banten yang beredar di kalangan
para sejarawan, setidaknya ada dua nama Cili yang tercatat dalam sejarah.
Yang pertama adalah dalam buku Tinjauan Kritis Sejarah Banten karya
Djajadiningrat disebutkan bahwa Sultan Abul Mafahir (1596-1651) bila malam tiba
sering berkeliling di kota yang ada dalam benteng bersama Ki Ciliduhung. Yang
kedua dalam buku Sejarah Banten karya Yosef Iskandar
disebutkan bahwa ketika Pangeran Suriadiwangsa, adipati sumedang berbelot dari
Banten ke Mataram maka Sumedang diserang Kesultanan Banten dengan panglima
perang seseorang yang bernama Cili Widara. Bila nama cili ini adalah nama asli,
bukan gelar kebangsawanan, maka kemungkinan Ciliduhung dan ciliwidara adalah
keturunan raden Kenyep menjadi kuat.
Raden Kenyep
mempunyai anak yaitu: Ciliwulung, Ciliwangsa, Ciliglebeg, Cilimede, Cilibadrin,
Cilimandira, Cilibayun, Cilikored, Cilijohar, dan Cilibred.
Dari sekian anak-anak Raden kenyep, hanya keturunan Syekh Ciliwulung yang
dicatat rapih oleh para keturunannya. Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan
keturunan yang sekarang sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya.
Syekh Ciliwulung
mempunyai anak yaitu Syekh Cinding, syekh Sauddin, syekh syuaib dan Ratu
Fatimah.
Ratu Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir
yang bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh pada masa pemerintahan sultan
Maulana Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687) atau yang dikenal
dengan sultan Haji.
Dari pernikahan
ini mempunyai putra bernama Raden Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama
besar yang tinggal di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal
dengan nama syekh Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang.
Syekh Hasan Bashri mempunyai empat orang anak yaitu Syekh Ibrohim di
Cakung, syekh hasan Mustofa di palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa.
Syekh Ibrohim
mempunyai anak Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah
menikahkan anaknya yang bernama Syekh Alim dengan Nyai Ratu hadisah cicit
Sultan maulana Mansur. Ayah nyai ratu hadisah adalah Raden Nururrohim bin
Pangeran Abdul Muid bin sultan Maulana Mansur Abunnashar Abdul Kohar.
Syekh Alim adalah seorang ulama besar yang mempunyai pesantren di daerah
Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah,
Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu Aminah. Dari Syekh Alim inilah banyak
menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya. Selain dari
keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga
terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung
tirtayasa yang akan disebutkan dalam pembahasan selanjutnya. Sultan Agung
Tirtayasa Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek
Pada tahun 1659
Sultan Agung Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke
sungai cisadane. Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek,
Gunung kaler dan Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April
1663. Terusan ini menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga
dinamakan Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.
Pada tanggal 9 September 1663, sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara
melalui laut dengan 150 kapal dan mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain
membuat terusan, sultan Agung juga membuat lahan persawahan baru yang
membentang disekitar terusan. Dalam pembangunan itu sultan Agung membuat
pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi selama pembangunan. Diberitakan
dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul “La politique vivriere de
Sultan Ageng’ yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Archipel pada
tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di ‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat
yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar Tanara. Diperkirakan lokasi tepat
rumah itu di Gunung Kaler, pertengahan antara Tanara-Kresek.
Persawahan yang dibangun sultan Agung itu membentang datar dari mulai Sawah
luhur sampai Pontang, dari Pontang sampai Lempuyang, dari Lempuyang
sampai Tersaba, dari Tersaba sampai Carenang, dari Carenang sampai
Cikande, Dari Tanara Sampai Kresek, dari Kresek sampai Balaraja, dari Balaraja
sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di lokasi persawahan itu, Sultan
Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas penduduk ‘Jawa-Banten’.
Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak hanya terbatas di daerah
yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa baru di sepanjang sungai
cisadane-Tangerang. Berbeda dengan daerah sebelumnya, penduduk baru ini
diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan Batavia. Hal ini
selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada musuh bebuyutan
sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan Sultan Agung dalam
sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan VOC.VOC menganggap
kampung-kampung baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi
dari seorang raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara
yang mandiri secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di
serang secara langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus
berhadapan dengan penduduk-penduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam
sensus tahun 1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan berjumlah
100.000,- orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,-
orang.
Kraton Surasowan
memang kraton yang di sekelilingnya di bentengi oleh perkampungan orang-orang
‘Jawa’, yaitu orang-orang yang setia kepada sultan yang berbahasa dengan bahasa
Kraton kesultanan, yaitu bahasa Jawa yang telah mengalami proses singkritis
bahasa sehingga menjadi bahasa jawa yang khas yang berbeda dengan orang-orang
jawa Mataram.
Mulai dari timur di sepanjang Sungai cisadane para penduduk menggunakan
bahasa Jawa-banten, bahkan di Jakarta, mulai pemerintahan Mangkubumi
ranamanggala terjadi 6000 eksodus orang-orang Jawa-Banten. Kemudian bahasa Jawa
di Jakarta dan Tangerang bersentuhan dengan bahasa Melayu sehingga kemudian
melahirkan dialek bahasa yang sekarang dikenal dengan bahasa Betawi.Dari timur
mulai Mauk, sukadiri, Kronjo, Mekar Baru, Kresek, gunung Kaler, Binuang,
Carenang, sebagian Cikande, Tanara, tirtayasa, Pontang sampai sekarang masih
menggunakan bahasa jawa-Banten. Kemudian di wilayah Selatan mulai dari
Padarincang, sebagian Ciomas, Serang, Taktakan, kelapa dua, terus agak ke
barat, kramat watu, plamunan, cibeber, cilegon, cigading, sampai ke Bojonegara,
kesemuanya adalah penduduk ‘jawa’ yang mengelilingi Kraton Banten untuk
sewaktu-waktu, selain mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka juga
siap untuk berperang bila diperintahkan sultan.
Untuk waktu berikutnya, banyak bangsawan ‘Jawa’ Banten yang juga kemudian
menjalin kekerabatan dengan penduduk asli di selatan Banten yang kemudian
keturunan mereka berbahasa sunda. Kemudian tradisi kesantrian tidak hanya
menjadi monopoli orang-orang utara, tapi juga meyebar ke seluruh Banten.
Bahkan, banyak kemudian muncul ulama-ulama besar dari orang-orang sunda
Banten. Akhirnya Kraton Surasowan Banten tidak hanya dibentengi orang
‘Jawa’ atau mereka yang berbahasa Jawa, tapi oleh seluruh penduduk Banten
mulai dari Utara sampai selatan, timur dan barat, memiliki kesetiaan yang paripurna
terhadap kesultanan Banten. Agama Islam berkembang di Banten dengan memiliki
kekentalan yang lebih terasa dari pada perkembangan Islam di pulau Jawa
lainnya. Sinkritisme Islam dengan ajaran kejawen seperti
yang terjadi di Mataram, tidak ditemukan di Banten.Kini penduduk Banten
berjumlah sekitar 9 juta jiwa yang sepertiga dari mereka masih setia
menggunakan bahasa Jawa sebagai warisan kesultanan Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar