Jumat, 23 Desember 2016

Perdamaian Syariat dengan Tasawuf Danpengaruhnya di Dunia Tasawuf


Syari’ah adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah melalui Rasulnya dan berarti sesuai dengan agama yang diajarkan oleh rasul. para pakar modern banyak yang berbeda pendapat tentang hubungan antara Sufisme dengan ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa sufisme adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya merupakan unsure dari sumber asing atau yang lain misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) sementara yang lain menentang pandangan tersebut, bagi mereka ini sufisme adalah peristiwa yang sepenuhnya Islami, bahkan mereka mengatakan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang di jalankan kaum sufi adalah meniru kehidupan Rasulullah dan sahabatnya. 
Penulis sufisme awal, seperti Al-Sarraj (W. 561), Al-Kalabadzi (W. 390), Abu Nuim (W. 430) dan Al-Qusyairi (W. 465) mendukung pendapat tersebut dan mendalilkan bahwa sufisme merupakan ekspresi murni tentang ekspresi rohani ajaran Islam dan merupakan perwujudan teramat sempurna dari nilai-nilai rohaniah.
Walaupun cita untuk menjalin keselarasan pengamalan Tasawuf dengan Syariat telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya, namun baru Al – Gazali (W.505) yang secara kongkret berhasil merumuskan bangunan ajarannya, konsepsi Al-Gazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengamalan Sufisme dengan syariat di susun dalam karyanya yang paling monumental “ Ihya Ulumuddin”.
Dari susunan ihya ulumuddin tergambar pokok pemikiran Al-Gazali mengenai hubungan syariat dan tasawuf yakni sebelum mempelajari tasawuf dia harus memperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah serta terlebih dia harus konsekwen menjalankan syariat seperti misalnya shalat, puasa, dan sebagainya yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya di bedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang khawas dan sebagainya.
Syariat adalah landasan tasawuf dan sebagai unsur integual tasawuf itu sendiri, maka tidak ada tasawuf tanpa syariat. Al-Qusyairi sendiri mengatakan bahwa tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib. 
Pernyataan di atas nampak jelas bahwa kecintaan terhadap Tasawuf hendaknya tidak mengabaikan Syariat bahkan semakin tinggi ilmu tasawufnya semakin mendalam pula kewaraannya, kepatuhan dan ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran kaum Sufi adalah sikap kurang mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan berbagai bentuk ibadah mahdhahhanyalah untuk orang awam dengan kata lain seseorang yang sudah mencapai maqam paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu lagi syariaf. Padahal seharusnya makin tinggi maqam seseorang makin keraslah kesetiannya terhadap ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi, tak ada satu magam pun yang membuat  orang yang telah meraihnya bebas dari kewajibannya syariat.
Berdasarkan uraian ini Penulis mengambil ketetapan sebagai berikut :
1.      Syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf.
2.      Syariat dan hakikat adalah saling berhubungan dan saling isi mengisi
3.      Barang siapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka bukan saja ketidak kesalehan yang di perolehannya tetapi malah adalah kekafiran.
Pengaruh yang sangat mendasar  ketika Al-Ghazali menjadikan syariat sebagai landasan utama dalam hidup bertasawuf adalah mengikat para sufi untuk tetap menjalankan syariat agama, dan ketika seorang sufi sampai pada maqam tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti sholat dan semua gerakannya Bukan sebaliknya .
Dan meskipun Al-Ghazali menganggap sufisme adalah jalan terbaik untuk menuju Allah. Namun dia tetap selaktif terhadap pelbagai aliran sufisme pada masanya Al-Ghazali menolak paham al-hulul (al-Hallaj) dan al-Ittihat (al-Bisthami) dan dia menyebutkan bahwa minimal ada 3 golongan diantara para sufi yang tertipu :
Mereka yang berlaga sufi seperti sufi sungguhan baik cara berpakaian ataupun berprilaku padahal mereka sama sekali tidak perna membersihkan bathinnya dari noda dan dosa. Mereka yang mengaku sudah memperoleh makrifat langsung dari Tuhan yang diketahui dari kata-kata yang keluar dari mulutnya padahal kata-kata tersebut hanyalah kata-kata klise dari perjalanan para sufi lalu mereka hapalkan dan akibat dari presepsi ini dia menganggap hina para ahli ibadah.
Mereka yang katanya mementinkan hati lalu mereka membiarkan anggota badannya berbuat maksiat, karena menurutnya hal itu tidak diperhitungkan Tuhan yang dinilai adalah gera hati yang katanya tak perna absent dari dzikrullah.
Jadi, dari susunan ihya ulumuddin tergambar pemikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dengan tasawuf yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf terlebih dahulu harus memperdalam pengetahuan tentang syariat dan harus tekun dan konsekuen menjalankan syariat seperti sholat, puasa dan sebagainya. 
Ketika seorang sufi sudah sampai pada maqam yang tinggi maka tiada lagi penghalang   antara dia dan Allah. Semakin tinggi maqam seseorang semakin nampak kewarakannya dan semakin tekunlah melaksanakan ajaran Allah karena rahasia dari pekerjaannya sudah dia ketahui, bukan sebaliknya. Tidak ada sesuatu hal pun yang bisa membebaslkan seseorang  dari syariat kecuali tiga paktor yaitu gila , tidur teru-menerus dan anak yang belum baliq. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar