Syari’ah adalah segala sesuatu yang telah
ditetapkan Allah melalui Rasulnya dan berarti sesuai dengan agama yang
diajarkan oleh rasul. para pakar modern banyak yang berbeda pendapat tentang
hubungan antara Sufisme dengan ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa sufisme
adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya merupakan unsure dari sumber
asing atau yang lain misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan)
sementara yang lain menentang pandangan tersebut, bagi mereka ini sufisme
adalah peristiwa yang sepenuhnya Islami, bahkan mereka mengatakan bahwa
kehidupan bersahaja seperti yang di jalankan kaum sufi adalah meniru kehidupan
Rasulullah dan sahabatnya.
Penulis
sufisme awal, seperti Al-Sarraj (W. 561), Al-Kalabadzi (W. 390), Abu Nuim (W.
430) dan Al-Qusyairi (W. 465) mendukung pendapat tersebut dan mendalilkan bahwa
sufisme merupakan ekspresi murni tentang ekspresi rohani ajaran Islam dan
merupakan perwujudan teramat sempurna dari nilai-nilai rohaniah.
Walaupun
cita untuk menjalin keselarasan pengamalan Tasawuf dengan Syariat telah di
cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya, namun baru Al –
Gazali (W.505) yang secara kongkret berhasil merumuskan bangunan ajarannya,
konsepsi Al-Gazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara
pengamalan Sufisme dengan syariat di susun dalam karyanya yang paling
monumental “ Ihya Ulumuddin”.
Dari susunan ihya
ulumuddin tergambar pokok pemikiran Al-Gazali mengenai hubungan syariat dan
tasawuf yakni sebelum mempelajari tasawuf dia harus memperdalam ilmu tentang
syariat dan aqidah serta terlebih dia harus konsekwen menjalankan syariat
seperti misalnya shalat, puasa, dan sebagainya yakni sebagai umumnya para
penganut tasawuf dalam ihya di bedakan tingkat orang shalat antara orang awam,
orang khawas dan sebagainya.
Syariat
adalah landasan tasawuf dan sebagai unsur integual tasawuf itu sendiri, maka
tidak ada tasawuf tanpa syariat. Al-Qusyairi sendiri mengatakan bahwa tidak ada maqam atau ahwal
yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti
yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang
sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang
diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati
bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib.
Pernyataan
di atas nampak jelas bahwa kecintaan terhadap Tasawuf hendaknya tidak
mengabaikan Syariat bahkan semakin tinggi ilmu tasawufnya semakin mendalam pula
kewaraannya, kepatuhan dan ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan
sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran kaum Sufi adalah sikap kurang
mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan berbagai bentuk ibadah mahdhahhanyalah untuk orang awam dengan kata lain seseorang yang sudah
mencapai maqam paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu lagi syariaf. Padahal
seharusnya makin tinggi maqam seseorang makin keraslah kesetiannya terhadap
ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat
siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi, tak ada satu
magam pun yang membuat orang yang telah meraihnya
bebas dari kewajibannya syariat.
Berdasarkan uraian ini
Penulis mengambil ketetapan sebagai berikut :
1. Syariat adalah salah satu unsur
yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf.
2. Syariat dan hakikat adalah
saling berhubungan dan saling isi mengisi
3. Barang siapa yang meninggalkan
syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka bukan saja ketidak
kesalehan yang di perolehannya tetapi malah adalah kekafiran.
Pengaruh
yang sangat mendasar ketika Al-Ghazali menjadikan syariat sebagai landasan utama dalam
hidup bertasawuf adalah mengikat para sufi untuk tetap menjalankan syariat
agama, dan ketika seorang sufi sampai pada maqam tertinggi maka terbukalah
rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti sholat dan semua gerakannya Bukan
sebaliknya .
Dan meskipun
Al-Ghazali menganggap sufisme adalah jalan terbaik untuk menuju Allah. Namun
dia tetap selaktif terhadap pelbagai aliran sufisme pada masanya Al-Ghazali
menolak paham al-hulul (al-Hallaj) dan al-Ittihat (al-Bisthami) dan dia
menyebutkan bahwa minimal ada 3 golongan diantara para sufi yang tertipu :
Mereka
yang berlaga sufi seperti sufi sungguhan baik cara berpakaian ataupun
berprilaku padahal mereka sama sekali tidak perna membersihkan bathinnya dari
noda dan dosa. Mereka yang mengaku sudah
memperoleh makrifat langsung dari Tuhan yang diketahui dari kata-kata yang
keluar dari mulutnya padahal kata-kata tersebut hanyalah kata-kata klise dari
perjalanan para sufi lalu mereka hapalkan dan akibat dari presepsi ini dia
menganggap hina para ahli ibadah.
Mereka
yang katanya mementinkan hati lalu mereka membiarkan anggota badannya berbuat
maksiat, karena menurutnya hal itu tidak diperhitungkan Tuhan yang dinilai
adalah gera hati yang katanya tak perna absent dari dzikrullah.
Jadi, dari susunan ihya ulumuddin tergambar pemikiran Al-Ghazali mengenai
hubungan syariat dengan tasawuf yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan
ajaran tasawuf terlebih dahulu harus memperdalam pengetahuan tentang syariat
dan harus tekun dan konsekuen menjalankan syariat seperti sholat, puasa dan
sebagainya.
Ketika
seorang sufi sudah sampai pada maqam yang tinggi maka tiada lagi
penghalang antara dia dan Allah. Semakin tinggi maqam seseorang semakin
nampak kewarakannya dan semakin tekunlah melaksanakan ajaran Allah karena
rahasia dari pekerjaannya sudah dia ketahui, bukan sebaliknya. Tidak ada
sesuatu hal pun yang bisa membebaslkan seseorang dari syariat kecuali tiga paktor yaitu gila , tidur teru-menerus
dan anak yang belum baliq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar