Suara deru ombak pantai menemani malam kami bersama seorang muzawir
(pengurus makam Pangeran Jaga Lautan) di pulau cangkir. Sebuah pulau kecil yang
kini terhubung dengan daratan kronjo Tangerang. Pulau ini dahulu terpisah
dari pulau utamanya. Tetapi kini Pulau Cangkir sudah tampak menyatu dengan main
land-nya, ini karena ada upaya swadaya masyarakat sekitar dan pengelola situs
untuk membuat jalan penghubung dengan menggunakan urugan tanah pada tahun 1995
lalu untuk memudahkan peziarah memasuki pulau tersebut. Sebagai obyek wisata
pantai, ”Pulau Cangkir merupakan obyek wisata ziarah karena di pulau ini
terdapat makam Pangeran Jaga Lautan, yang ramai dikunjungi peziarah dari
berbagai wilayah di Nusantara ini, dengan berbagai tujuan masing- masing.” kata
Muzawir itu atau yang biasa dipanggil Ust. Juweni bercerita tentang asal muasal
pulau tersebut, dan keberadaan sang Pangeran.
“Beliau sengaja ditempatkan Sultan Maulana Hasanuddin di daerah pesisir
Kronjo yang pada masa itu menjadi jalur transportasi perdagangan antara
Banten-Tirtayasa, Kronjo, Mauk, Cisadane-dan Jayakarta (sekarang menjadi Ibu
Kota Negara, Jakarta . Dahulu, pulau ini terpisah dari daratan. Untuk mencapai
pulau ini, kami harus menggunakan sampan. Baru beberapa tahun ini kemudian
dibuatkan daratan untuk menyambungkan pulau ini dengan daerah Kronjo,” ujar
Ust. Juweni, bak pemandu wisata.
Mendengar kisah sang pangeran, kami jadi teringat tentang Syehk Priok, di
Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, dan Syekh Jamaludin di Pelabuhan Merak.
“Mengapa di hampir setiap pelabuhan terdapat makam yang dikeramatkan?” tanya
kami dalam hati. Mungkinkah mereka ini awalnya adalah kepala pelabuhan, yang
kebetulan punya ke
ahlian agama,
dan mengajarkannya kepada penduduk sekitar.
Kami urai lagi cerita tentang penyebaran Islam di daerah pesisir yang kerap
kami baca, atau kami dengar. Embah Priok, konon hadir di Tanjung Priok pada
abad ke 17 dua abad setelah penguasaan Banten dari Wilayah Kerajaan Sunda
Padjajaran oleh Sultan Maulana Yusuf. Saat itu Batavia berada dalam genggaman
Kasultanan Banten. Sementara Pangeran Cangkir yang berjuluk Pangeran Jaga
Lautan, konon mendiami pulau yang luasnya hanya sepetak sawah itu, atas
perintah Sultan Mauna Hasanuddin Banten. Dan Syekh Jamaludin, adalah utusan
Sultan Banten, yang juga dikenal sebagai pejuang perlawanan terhadap Portugis.
Kesamaan pola yang terlihat dari penguasaan pelabuhan-pelabuhan tersebut
oleh para tokoh –kemungkinan ulama – yang kemudian dikeramatkan itu. Bahwa
lautan harus dijaga secara seksama. Para tokoh lampau itu sadar benar
pentingnya kelautan bagi Nusantara. Bahkan bisa jadi mereka di tempatkan di
berbagai pulau kecil itu, bersama beberapa prajurit. Saat itu juga mungkin ada
semacam kesepakatan atau konsensus dari para ulama dan Sultan, tentang
pentingnya kekuatan maritim bagi kelangsungan penyebaran Islam.
Beberapa tahun lalu, ditemukan kerangka Gajah dan beberapa pernak-pernik
seperti piring hiasan yang berasal dari Cina di desa ketapang, yang terletak di
selatan Pulau Cangkir, menguatkan asumsi tersebut. Berbeda dengan pemerintahan
Republik Indonesia yang abai terhadap hal itu.Dalamhal ini, kita patut
berterimakasih kepada negara Jiran, yang turut menyadarkan pentingnya
kekuatan maritim bagi NKRI. Kita juga patut berterimakasih pada Gus Dur, yang
sejak lama meneriakkan hal itu, terlebih di era pemerintahannya yang singkat,
Dia meletakkan dasar-dasar kemaritiman RI.
Kalau saja waktu
kami cukup luang, ingin juga mencari tahu tentang kemungkinan adanya
peninggalan senjata-senjata yang biasanya kemudian dikeramatkan juga, atau
menjadi semacam pusaka-pusaka peninggalan Pangeran Cangkir. Jika memang ada,
maka kemungkinan strategi ekspansi laut oleh para ulama itu merupakan sebuah konsensus,
semakin besar.
Secara geografis, Pulau Cangkir merupakan pulau terdekat dengan daratan.
Terletak di sebelah barat Desa Kronjo. Meski berada hampir di tengah laut,
pulau itu masih terlihat kokoh dari jauh. Sementara daratan Kronjo sendiri
mengalami abrasi di berbagai sisi. Jalan menuju ke pulau kecil itu juga cukup
terjal. “Padahal ini termasuk daerah wisata di Tangerang,” kata Ust. Juweni.
Bahkan mobil pribadi yang “ceper” tidak dapat masuk sampai kepulau Cangkir
tersebut karena jalannya yang dipenuhi lubang yang dalam disana sini. Hal ini membuat
kami sangat prihatin. Kawasan yang begitu indah tapi kurang mendapat perhatian
dari pemerintah setempat. Tak jauh dari Pulau Cangkir terdapat Pulau Laki.
Letaknya di sebelah barat Pulau Cangkir. Konon Pulau Laki merupakan Gudang
rempah-rempah milik VOC. Di sana, juga konon, terdapat beberapa gedung bekas
peninggalan VOC. “Ada Night Club, atau semacam Bar nya juga loh, vila dan
gudang. Tapi sekarang sudah kosong semua. Tak ada penduduk yang mau mendiami
pulau itu,” ujarnya.
Lantas kenapa
dinamai pulau Laki, dan di mana Pulau Ceweknya? Tanya kami. “Mungkin karena di
sana tempat kompeni ‘ngalakian’ awewe. Jadi para Cewek yang ditarik ke situ,”
Kata ust. Juweni. Hmmm,,, para Kompeni ternyata penganut Patrialkal juga.
Mereka kurang menghormati perempuan! Cerita tentang pulau Laki menggelitik
khayal kami. Kalau bangunan-bangunan di sana masih kokoh, mengapa tidak
diberdayakan. Untuk tempat wisata horor misalnya. Semacam rumah hantu, yang
menjual berbagai wisata pemicu adrenalin.
Lokalisasi tempat hiburan di Pulau Laki kami pikir lebih masuk akal,
ketimbang tercecernya tempat hiburan itu, di area strategis, yang tak jauh dari
pemukiman warga. Tapi khayalan ini harus kami sudahi, mengingat rendahnya
komitmen dan apresiasi pemerintah terhadap aset-aset wisata. Jangankan merubah
Pulau jadi aset wisata, menyediakan akses ke tempat wisata yang ada saja,
pemerintah kesulitan. Yang ada, pemerintah kita paling jago menjual asetnya.
Lihat saja Pulau Umang, atau Krakatau Steel (KS) yang diobral itu.
Waduh, bicara KS, jadi ingat dengan teman yang tinggal
di Cilegon. Saat itu, kami sering mendapati berbagai tempat hiburan malam itu
dipenuhi para remaja usia pelajar. Pengunjungnya kerap meluber hingga di
pinggir jalan raya. Pemandangan yang bertolak belakang dengan gaya pemerintahannya,
yang cenderung menjual dalil-dalil keagamaan untuk kepentingan politis. Kami
sempat heran, para ulama di sana begitu vokal meneriakkan dukungan-dukungan
politis bagi penguasa setempat, tapi terdiam, saat ditanya tentang gaya hidup
bebas yang dianut masyarakatnya.Konsekuensi industrialisasi Cilegon memang tak
bisa memungkiri kehadiran tempat hiburan.Dan idealnya, gaya
kepemimpinan di Cilegon meniru Alm. Ali Sadikin, yang berani untuk tidak
bersikap munafik dalam mengakui berbagai tempat maksiat itu sebagai aset
daerah. Tidak bersikap momoyok, ngalebok (mencela, tapi
memakan juga hasilnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar