Senin, 26 Desember 2016

‘’Pulau Cangkir dan Pulau Laki’’


 https://tikhey01koy.files.wordpress.com/2011/04/images.jpg?w=480
Suara deru ombak pantai menemani malam kami bersama seorang muzawir (pengurus makam Pangeran Jaga Lautan) di pulau cangkir. Sebuah pulau kecil yang kini terhubung dengan daratan kronjo Tangerang. Pulau ini dahulu terpisah dari pulau utamanya. Tetapi kini Pulau Cangkir sudah tampak menyatu dengan main land-nya, ini karena ada upaya swadaya masyarakat sekitar dan pengelola situs untuk membuat jalan penghubung dengan menggunakan urugan tanah pada tahun 1995 lalu untuk memudahkan peziarah memasuki pulau tersebut. Sebagai obyek wisata pantai, ”Pulau Cangkir merupakan obyek wisata ziarah karena di pulau ini terdapat makam Pangeran Jaga Lautan, yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai wilayah di Nusantara ini, dengan berbagai tujuan masing- masing.” kata Muzawir itu atau yang biasa dipanggil Ust. Juweni bercerita tentang asal muasal pulau tersebut, dan keberadaan sang Pangeran.
“Beliau sengaja ditempatkan Sultan Maulana Hasanuddin di daerah pesisir Kronjo yang pada masa itu menjadi jalur transportasi perdagangan antara Banten-Tirtayasa, Kronjo, Mauk, Cisadane-dan Jayakarta (sekarang menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta . Dahulu, pulau ini terpisah dari daratan. Untuk mencapai pulau ini, kami harus menggunakan sampan. Baru beberapa tahun ini kemudian dibuatkan daratan untuk menyambungkan pulau ini dengan daerah Kronjo,” ujar Ust. Juweni, bak pemandu wisata.
Mendengar kisah sang pangeran, kami jadi teringat tentang Syehk Priok, di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, dan Syekh Jamaludin di Pelabuhan Merak. “Mengapa di hampir setiap pelabuhan terdapat makam yang dikeramatkan?” tanya kami dalam hati. Mungkinkah mereka ini awalnya adalah kepala pelabuhan, yang kebetulan punya ke
ahlian agama, dan mengajarkannya kepada penduduk sekitar.
Kami urai lagi cerita tentang penyebaran Islam di daerah pesisir yang kerap kami baca, atau kami dengar. Embah Priok, konon hadir di Tanjung Priok pada abad ke 17 dua abad setelah penguasaan Banten dari Wilayah Kerajaan Sunda Padjajaran oleh Sultan Maulana Yusuf. Saat itu Batavia berada dalam genggaman Kasultanan Banten. Sementara Pangeran Cangkir yang berjuluk Pangeran Jaga Lautan, konon mendiami pulau yang luasnya hanya sepetak sawah itu, atas perintah Sultan Mauna Hasanuddin Banten. Dan Syekh Jamaludin, adalah utusan Sultan Banten, yang juga dikenal sebagai pejuang perlawanan terhadap Portugis.
Kesamaan pola yang terlihat dari penguasaan pelabuhan-pelabuhan tersebut oleh para tokoh –kemungkinan ulama – yang kemudian dikeramatkan itu. Bahwa lautan harus dijaga secara seksama. Para tokoh lampau itu sadar benar pentingnya kelautan bagi Nusantara. Bahkan bisa jadi mereka di tempatkan di berbagai pulau kecil itu, bersama beberapa prajurit. Saat itu juga mungkin ada semacam kesepakatan atau konsensus dari para ulama dan Sultan, tentang pentingnya kekuatan maritim bagi kelangsungan penyebaran Islam.
Beberapa tahun lalu, ditemukan kerangka Gajah dan beberapa pernak-pernik seperti piring hiasan yang berasal dari Cina di desa ketapang, yang terletak di selatan Pulau Cangkir, menguatkan asumsi tersebut. Berbeda dengan pemerintahan Republik Indonesia yang abai terhadap hal itu.Dalamhal ini, kita patut berterimakasih kepada negara  Jiran, yang turut menyadarkan pentingnya kekuatan maritim bagi NKRI. Kita juga patut berterimakasih pada Gus Dur, yang sejak lama meneriakkan hal itu, terlebih di era pemerintahannya yang singkat, Dia meletakkan dasar-dasar kemaritiman RI.
Kalau saja waktu kami cukup luang, ingin juga mencari tahu tentang kemungkinan adanya peninggalan senjata-senjata yang biasanya kemudian dikeramatkan juga, atau menjadi semacam pusaka-pusaka peninggalan Pangeran Cangkir. Jika memang ada, maka kemungkinan strategi ekspansi laut oleh para ulama itu merupakan sebuah konsensus, semakin besar.
Secara geografis, Pulau Cangkir merupakan pulau terdekat dengan daratan. Terletak di sebelah barat Desa Kronjo. Meski berada hampir di tengah laut, pulau itu masih terlihat kokoh dari jauh. Sementara daratan Kronjo sendiri mengalami abrasi di berbagai sisi. Jalan menuju ke pulau kecil itu juga cukup terjal. “Padahal ini termasuk daerah wisata di Tangerang,” kata Ust. Juweni. Bahkan mobil pribadi yang “ceper” tidak dapat masuk sampai kepulau Cangkir tersebut karena jalannya yang dipenuhi lubang yang dalam disana sini. Hal ini membuat kami sangat prihatin. Kawasan yang begitu indah tapi kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Tak jauh dari Pulau Cangkir terdapat Pulau Laki. Letaknya di sebelah barat Pulau Cangkir. Konon Pulau Laki merupakan Gudang rempah-rempah milik VOC. Di sana, juga konon, terdapat beberapa gedung bekas peninggalan VOC. “Ada Night Club, atau semacam Bar nya juga loh, vila dan gudang. Tapi sekarang sudah kosong semua. Tak ada penduduk yang mau mendiami pulau itu,” ujarnya.
Lantas kenapa dinamai pulau Laki, dan di mana Pulau Ceweknya? Tanya kami. “Mungkin karena di sana tempat kompeni ‘ngalakian’ awewe. Jadi para Cewek yang ditarik ke situ,” Kata ust. Juweni. Hmmm,,, para Kompeni ternyata penganut Patrialkal juga. Mereka kurang menghormati perempuan! Cerita tentang pulau Laki menggelitik khayal kami. Kalau bangunan-bangunan di sana masih kokoh, mengapa tidak diberdayakan. Untuk tempat wisata horor misalnya. Semacam rumah hantu, yang menjual berbagai wisata pemicu adrenalin.
Lokalisasi tempat hiburan di Pulau Laki kami pikir lebih masuk akal, ketimbang tercecernya tempat hiburan itu, di area strategis, yang tak jauh dari pemukiman warga. Tapi khayalan ini harus kami sudahi, mengingat rendahnya komitmen dan apresiasi pemerintah terhadap aset-aset wisata. Jangankan merubah Pulau jadi aset wisata, menyediakan akses ke tempat wisata yang ada saja, pemerintah kesulitan. Yang ada, pemerintah kita paling jago menjual asetnya. Lihat saja Pulau Umang, atau Krakatau Steel (KS) yang diobral itu.
Waduh, bicara KS, jadi ingat dengan teman yang tinggal di Cilegon. Saat itu, kami sering mendapati berbagai tempat hiburan malam itu dipenuhi para remaja usia pelajar. Pengunjungnya kerap meluber hingga di pinggir jalan raya. Pemandangan yang bertolak belakang dengan gaya pemerintahannya, yang cenderung menjual dalil-dalil keagamaan untuk kepentingan politis. Kami sempat heran, para ulama di sana begitu vokal meneriakkan dukungan-dukungan politis bagi penguasa setempat, tapi terdiam, saat ditanya tentang gaya hidup bebas yang dianut masyarakatnya.Konsekuensi industrialisasi Cilegon memang tak bisa memungkiri kehadiran tempat hiburan.Dan idealnya, gaya kepemimpinan di Cilegon meniru Alm. Ali Sadikin, yang berani untuk tidak bersikap munafik  dalam mengakui berbagai tempat maksiat itu sebagai aset daerah. Tidak bersikap momoyok, ngalebok (mencela, tapi memakan juga hasilnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar