RAWA DANAU, sebuah danau berupa rawa – rawa yang hingga saat ini masih ada
dan dikelola sebagai cagar alam seluas 2500ha merupakan saksi bisu dan
peniggalan hidup legenda RAWA DANAU yang kami coba ungkap guna memperluas
pengetahuan akan budaya tanah sendiri.
Dahulu kala, disebuah desa yang mamiliki ulama terkenal bernama Syech
Maidin. Pada suatu hari, saat ia pulang dari pengajian ( memberi ceramah ) ia
merasa sangat ingin buang air kecil. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk
membuang air kecilnya kedalam batok kelapa muda yang ia temukan dipinggir jalan
manakala akan pulang. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya kembali. Namun
diduga, batok kelapa muda yang berisi air kencing Syech Maidin tadi diminum
oleh seekor babi hutan dan dengan sangat tidak terduga, babi hutan tersebut
mengalami hal aneh yaitu tiba – tiba bunting.
Setelah si babi mengalami hal aneh tersebut dan malahirakan, ternyata ada
hal yang jauh lebih aneh dan ajaib terjadi, si babi melahirkan seorang bayi
perempuan yang cantik jelita dipinggir desa tersebut. Bayi tersebut kemudian
ditemukan oleh warga setempat dan dibawa kepada Syech Maidin. Setelah melakukan
musyawarah, Syech Maidin memutuskan akan diadakan sukuran si bayi sekaligus
pemberian nama kepada bayi tersebut apabila si bayi sudah dapat merangkak.
Akhirnya, setelah si bayii bisa merangkak, dilakukanlah sukuran si bayi dimana
setiap kepala keluarga diharuskan membuat dan membawa makanan ke Mesjid tempat
akan dilaksanakannya acara sukuran tersebut. “ Peraturannya adalah, barang
siapaa yang diambil makannnya oleh bayi ini. Dialah orantua kandungnya (
Bapaknya ) “ tutur Syech Maidin ketika semua orang sudah berkumpul di Mesjid.
Dan ternyata, si bayi merangkak mengambil makanan/kue bakatul yang dibuat oleh
Syech Maidin, kemudian dianugrahkan kepadanya nama Nyi Artati. Tumbuhlah Nyi
Artati menjadi gadis yang cantik dan sakti dalam asuhan Syech Maidin.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga ada suatu kejadian di desa tersebut
dimana didalam mimbar mesjid desa tersebut tumbuhlah sebuah jamur yang sangat
besar dan tak ada yang mampu mencabutnya kecuali Nyi Artati. “Aku siap mencabut
jamur tesebut, asalkan kalian mau membuatkan Aku sebuah lisung ( perahu )
beserta dayungnya “ , ucap Nyi Artati kepada warga desa tersebut. Akhirnya,
dicabutlah jamur tersebut oleh Nyi Artati. Tiba – tiba keluarlah mata air yang
akhirnya merendam semua isi desa tersebut, hanya Nyi Artati lah yang berhasil
menyelamatkan desa dengan lisungnya. Kini, Desa tersebut berubah menjadi sebuah
danau dan warganya berubah menjadi buaya termasuk Syech Maidin dan Sanggayuta
yang menurut riwayatnya adalah tangan kanan Syech Maidin pun ikut berubah menjadi
pimpinan buaya yang ada di danau tersebut. Danau yang kini terkenal dengan
naman RAWA DANAU.
Singkat cerita, setelah Nyi Artati berhasil selamat ia mengasingkan diri
disebuah hutan di Gunug Kupak. Ia tinggal seorang diri, menghabiskan waktunya dengan
menenun siang maupun malam. Hingga pada suatu malam, salah satu alat tenun (
barera ) yang sedang ia gunakan terjatuh keluar rumah panggung miliknya. Karena
tidak mampu mengambilnya sendiri, Nyi Artati berucap, “ Barang siapa yang mampu
mengantarkan barera milikku, jika ia perempuan akan ku jadikan saudara, namun
jika ia laki – laki akan ku jadikan suami “, ternyata ucapan Nyi Artati
tersebut didengar oleh seekor anjing yang bernama Si Tumang. Setelah mendengar
ucapan Nyi artati tadi, Si Tumang bergegas mengambil barera tersebut dan
mengembalikannya pada Nyi Artati. Akhirnya, sesuai apa yang telah diucapkannya,
Nyi Artati menikah dengan Si Tumang dengan tetap mau menerima kedaan Si Tumang
yang adalah seekor anjing.
Tak lama kemudian, lahirlah seorang anak laki – laki dari pernikahan Nyi
Artati dan Si Tumang yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi
anak laki – laki yang gagah, cerdas, sehat dan sakti. Suatu hari, Nyi Artati
sangat ingin memakan hati manjangan, berburulah Sangkuriang bersama Si Tumang.
Sesampainya dihutan, Sangkuriang melihat seekor babi hutan, ia mamrintahkan Si
Tumang untuk mengejar babi hutan tersebut namun Si Tumang tak bergeming, ia
teatap diam. Sangkuriang sangat berang melihat tingkah Si Tumang tersebut. Ia
marah, sangat marah hingga akhirnya ia membunuh Si Tumang dengan menyembelih
leher Si Tumang dan diambilah hati Si Tumang dan dibawanya pulang. Ia
memberikan hati berlumuran darah tersebut kepada sang ibunda untuk dimasak.
Setelah beberapa
saat kejadian tersebut, Nyi Artati menanyakan keberadaan Si Tumang kepada
Sangkuriang dan ia pin menjawab, “ Jangan bertanya Si Tumang kemana atau
dimana, karena yang baru saja Ibu masak adalah hati Si Tumang “. Nyi Artati
sangat gusar mendengar hal tersebut hingga dipukul lah kepala Sangkuriang
dengan sebuah sinduk yang membuat kepalanya terluka. Semenjak kejadian
tersebut, pergilah Sangkuriang menuntut Ilmu.
Waktu
belalu…Sangkuriang menjadi dewasa , tampan dan sakti mandraguna.
Kemudian ia memutuskan untuk kembali pulang mencari Ibunya, namun ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang wanita cantik jelita dan ia pun jatuh cinta kepadanya yang ternyata adalah Ibunya sendiri. Sangkuriang sangat tergila – gila kepada wanita cantik tersebut. Ia teringat akan wasiat Ibunya dalam sebuah cincin, “ Barang siapa wanita yang jari manisnya pas mengenakan cincin ini, dialah jodohmu, Nak “, tanpa pikir panjang, dipakaikanlah cincin tersebut kedalam jari manis sang putri cantik tersebut dan ternyata, Pas !!!! Sangkuriang berusaha meyakinkan wanita tersebut adalah jodohnya dan bukan Ibu kandungnya, namun sang wanita pun bersikukuh Ia adalah Ibu kandunganya. Wanita tersebut berusah meyakinkan dirinya sendiri denagn memegang kepala Sangkurinag dan memastikan bekas luka pukulan sinduk ketika Ia masih anak – anak. Keyakinan wanita itu tenyata benar, lelaki dihadapannya adalah Sangkuriang, anaknya sendiri yang kini justru mencintai dan ingin meminangnya sebagai istri. Karena Sangkuriang tidak mau percaya dan tetap ngotot ingin menikahi Nyi Artati, akhirnya ia ditantang oleh Nyi Artati untuk membendung RAWA DANAU sebelum fajar muncul diufuk timur, jika ia mampu melakukannya, ia boleh menikahi Nyi Artati anmun jika tidak, ia harus mengakui bahwa Nyi Artati adalah Ibunya sendiri.
Kemudian ia memutuskan untuk kembali pulang mencari Ibunya, namun ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang wanita cantik jelita dan ia pun jatuh cinta kepadanya yang ternyata adalah Ibunya sendiri. Sangkuriang sangat tergila – gila kepada wanita cantik tersebut. Ia teringat akan wasiat Ibunya dalam sebuah cincin, “ Barang siapa wanita yang jari manisnya pas mengenakan cincin ini, dialah jodohmu, Nak “, tanpa pikir panjang, dipakaikanlah cincin tersebut kedalam jari manis sang putri cantik tersebut dan ternyata, Pas !!!! Sangkuriang berusaha meyakinkan wanita tersebut adalah jodohnya dan bukan Ibu kandungnya, namun sang wanita pun bersikukuh Ia adalah Ibu kandunganya. Wanita tersebut berusah meyakinkan dirinya sendiri denagn memegang kepala Sangkurinag dan memastikan bekas luka pukulan sinduk ketika Ia masih anak – anak. Keyakinan wanita itu tenyata benar, lelaki dihadapannya adalah Sangkuriang, anaknya sendiri yang kini justru mencintai dan ingin meminangnya sebagai istri. Karena Sangkuriang tidak mau percaya dan tetap ngotot ingin menikahi Nyi Artati, akhirnya ia ditantang oleh Nyi Artati untuk membendung RAWA DANAU sebelum fajar muncul diufuk timur, jika ia mampu melakukannya, ia boleh menikahi Nyi Artati anmun jika tidak, ia harus mengakui bahwa Nyi Artati adalah Ibunya sendiri.
SEPAKAT! Sangkuriang menyetujui hal
tersebut. Dalam waktu satu malam, dengan kesakstiannya yang nyaris sempurna,
dibendunglah danau tersebut, namun sang Ibu pun tak ingin kalah, ia tak ingin
pernikahan berdosa itu benar – benar terjadi. Maka, dengan kesaktian yang
dimilikinya, Nyi Artati membeberkan karembong beureum miliknya di ufuk timur
hingga tampak seperti matahari terbit, ayam – ayam pun diperintahkannya untuk
berkokok dan bunyi lisung padi pun telah berbunyi seolah – olah sudah ada yang
menumbuk padi menandakan malam telah berganti pagi.
“ Hei, Sangkuriang. Lihatlah keselah timur, fajar sudah menyingsing.
Waktumu telah habis. “, Sangkuriang sangat kadet, spontan ia langsung menoleh
keufuk timur manakala di tangan kanannya menggenggam segumpal tanah dan tangan
kirinya menggenggam rumput kasimbukan. Dengan amarah yang memuncak,
dilemparkanlah segumpal tanah tersebut dan jadilah sejarang gunung kecil
bernama Gunung Jamungkal yang hingga saat ini masih ada
ditengah RAWA DANAU. Rumput yang tadi digenggamnya ia kentuti dan sampai saan
ini rumput tersebut terkenal dengan nama Rumput Kentut kentutan. Akhirnya,
Sangkuriang tidak berhasil meminang Nyi Artati…Menurut legenda, hingga detik
ini baik Sangkuriang maupun Nyi Artati masih hidup di daerah Padarincang –
Ciomas. Dari cerita ini, ada nilai moral penting yang dapat kita ambil yaitu, Setinggi
– tingginya bahu tidak akan melebihi kepala, artinya sesakti – saktinya seorang
anak tidak akan mampu melebihi orangtuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar