Banyak dari para filosof
berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani
semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat
nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat
merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan
kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian
suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani
pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau
dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa
pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas
badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama
kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak
ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi
menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada
pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah
tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah
dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup
kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah
mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya
dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan
dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi,
yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting,
sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya
(badannya).
Atas
dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan
rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah
berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan
tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak
sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya
suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi
kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan
pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan
lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan
dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga
yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses yang
panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.
Menurut
al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW.
Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja.
Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan
dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat
surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang
bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga
dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang
mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian,
menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits,
karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan
itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
”...
adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka
yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari
kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan
hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya
bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya
pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara
pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang
bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam
pandangan yang mereka nyatakan itu.’’
Dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang
mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan
lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan
kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni
berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain,
atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti
bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya.
Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan
kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan
dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes
sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat
saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit
berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang
berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan
rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh
pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara
mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi
karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif
mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas
Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni
dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal
para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh
pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada
kebangkitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar