Ilmu
merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan
bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang
ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang
bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang
artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali
yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk
amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang
ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan
dengan syari’at.
Pada
karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al
Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
Ilmu
hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam,
yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu
lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk
menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu
inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal
pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai
pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang
mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah
jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang
melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur
bagi tasawuf. Al- Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori
Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.
Di
lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan
Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi
empat bagian yaitu:
1.
Pembagian ilmu-ilmu
menjadi bagian teoritis dan praktis.
2.
Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang
dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli)
3.
Pembagian atas
ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4.
Pembagian ilmu menjadi
ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas
umat).
Di antara empat hal
dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di
bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi
ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem
klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Kalau
dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak
menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang
dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat
mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat.
Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk
mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para
masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya
kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan
tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali
berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang
bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen
ilmu kalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar