Jumat, 23 Desember 2016

Biografi Al-Ghazali dan Pengembangan Intelektualnya menuju Kehidupan Sufistik



Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Ghazali ath-Thusi. Dia adalah seorang Persia asli Ia lahir di Thus, wilayah khurasan (sekarang Iran), pada tahun 450 H/1058 M, dan termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul’ Islam (bukti kebenaran Islam) dan Zainu’d-Din (Hiasan Agama).
Ayahnya seorang sufi yang sangat wara’ yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wool. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil. Sebelum meninggal, ia menitipkan al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad pada seorang sufi lain untuk mendapat pendidikan dan bimbingan.
Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini  ia belajar ilmu fiqh pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani. Setelah itu, ia belajar di Jurjan pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqh.
Al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab fiqh, retorika, logika dan juga ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya. Dan setelah Imam Al-Juwaini  meninggal tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan Nizhamu’I-Muluk Perdana Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas di sebelah Kota Naisabur dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham Al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya dalam mengalahkan para ulama setempat dalam munazharah.
Dengan bantuan Nizhamu’I-Mulk, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad pada tahun 484 H/1090 M.  Untuk mengajar pada madrasah Nizdhamiyah di kota itu. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu memadati halqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di kawasan itu karena berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia mulai berpikir dan menulis dalam ilmu fiqh dan Al-Kalam dan juga kitab-kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran-aliran Batiniyyah, Ismailiyyah dan falsafah.
Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M. Yakni krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang empiris maupun yang rasional. Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta menulis berbagai kitab dalam bidang falsafah, batiniyyah, fiqh dan lain-lain.
Namun, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu ia meninggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih kurang dua tahuh. Dalam masa ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah dan beribadah serta beri’tikaf di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid pada waktu siang hari.
Kemudian ia berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada Allah. Pada masa ini timbullah gerak hatinya untuk naik haji, lalu ia pergi ke Mekah dan selanjutnya ke Madinah untuk ziarah ke makam Nabi setelah lebih dulu ia menziarahi makam Nabi Ibrahim di Qudus.
Setelah lebih kurang sepuluh tahun mundar-mandir di Negeri Syam, Baitulmakdis dan Hijaz, maka pada tahun 499 H/1106 M. Al-Ghazali kembali ke Naisabur atas desakan Fakhrul Muluk, anak Nizhamul Muluk untuk mengajar di Madrasah Nizhamiyyah kota itu. Tidak diketahui berapa tahun ia mengajar di sana. Dan setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H / 1107 M., ia kembali ke rumah asalnya di Thus, di mana ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Qur’an, hadis serta mengajar. Di sebelah rumahnya, ia membangun madrasah untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat (Khaniqah) bagi para sufi. Pada hari Senin, 14 Jumadil Akhirah, tahun 505 H. (18 Desember, 1111 M), Imam Al-Ghazali berpulang ke rahmatullah di tempat asalnya, Thus dalam usia lima puluh lima tahun dengan meninggalkan sejumlah anak perempuan.
Apa yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Al-Ghazali ialah kehausannya akan segala macam pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Tidak mengherankan kalau ia selamanya bersikap kritis, dan kelanjutannya ialah bahwa ia tidak percaya akan kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan yang axioma. Akan tetapi akhirnya, terhadap kedua macam pengetahuan ini pun, ia tidak mempercayainya. Ia menceritakan keragu-raguannya terhadap kedua macam pengetahuan itu dalam Al-Mungidz-nya sebagai berikut :
Keragu-raguan yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak lagi memberikan kepercayaan kepada perkara-perkara inderawi pula, bahkan keragu-raguan semakim mendalam, serta berkata : “Bagaimana perkara-perkara inderawi bisa dipercayai. Kita ambil penglihatan, sebagai indera yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkahnya diam tidak bergerak. Tetapi dengan percobaan dan penelitian, sesudah beberapa saat, engkau baru mengetahui bahwa bayangan itu sebenarnya bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Ketika engkau melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti-bukti matematika menunjukkan bahwa bintang tersebut lebih besar dari pada bumi.

Begitulah krisis yang menimpa Al-Ghazali seperti yang diceritakannya sendiri, baik yang bersifat psikologis maupun mental. Ia meragukan indera dan akal pikiran, serta berjalan tak menentu dalam keragu-raguannya itu, kemudian mencari obatnya, tetapi tiak pula didapatnya, karena keragu-raguan baru bisa hilang dengan suatu dalil, sedang dalil ini baru bisa dibuat dengan penyusunan alasan dan pikiran-pikiran yang aksioma, tetapi pikiran-pikiran aksioma inipun tidak pula dipercayainya.
krisis yang menimpannya hanya berlaku dua bulan saja dimana ia kemudian dapat sembuh dari penyakit tersebut, bukan karena suatu dalil melainkan karena cahaya Tuhan yang dilimpahkannya dalam hatinya. Cahaya inilah yang menjadi kunci segala pengetahuan bagi Al-Ghazali. Krisis tersebut merupakan penutup bagi salah satu dari fase kehidupannya, dan merupakan permulaan fase kehidupan yang lain, dimana tasawuf dan kehidupan rohani mendapat tempat yang seluas-luasnya pada dirinya, bahkan lapangan pikiran diganti dengan ilmu al-Mu’amalah wa al-Mukasyafah (Ilmu pergaulan dengan Tuhan, dan ilmu Pembuka Hati). Buku-buku al-Ghazali yang bercorak tasawuf dikarang pada fase kedua tersebut.
Timbullah pertanyaan, bagaimana corak tasawufnya. Tasawuf dengan sikapnya yang negatif dan asing dari semangat jiwa Islam, sebagaimana yang terlihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim, telah menimbulkan reaksi dan kemarahan aliran Islam Suni. Maka datanglah al-Ghazali untuk memasukkan tasawuf dalam pengakuan islam suni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, tetapi ia tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf hulul (inkarnasi) atau tasawuf wihdat ul-wujud  (pantheisme), dan buku-buku yang dikaranganya juga tidak pula keluar dari jalan (sunnah) Islam yang benar.
Memang sebanarnya sukar untuk menyebutkan sikap al-Ghazali tersebut dengan tasawuf, dan boleh jadi nama yang tepat ialah subyektivismus (kepribadian), sebagaimana yang disebutkan oleh J. o bermann, Dalam bukunya derphilosophische and religioese subjectivismus Ghazali (Kepribadian Filsafat dan Agama pada al-Ghazali). Pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali didasarkan atas rasa yang memancarkan dalam hati, bagaikan sumber air jernih, bukan dari hasil penyelidikan akal, tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.
Al-Ghazali dengan tegas menentang orang- orang tasawuf yang meremehkan upacara-upacara agama. Sebaliknya ia menganggap upacara tersebut sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk mencapai kesempurnaan. Menjalankan upacara-upacara itu tidak hanya cukup dengan pekerjaan-pekerjaan lahiriah, melainkan dengan penuh pengertian akan makna-makna dan rahasianya yang tidak didapati dalam buku-buku fiqh.
Sebagai contoh ketika ia membicarakan arti bersuci (taharah), ia mengatakan sebagai berikut :
Thahara bukan hanya berarti membersihkan badan, dengan menuangkan air, sedang batinnya hancur dan terisi kotoran. Tetapi thahara mempunyai empat tingkatan yaitu:
1.  Membersihkan lahir (anggota-anggota badan) dari hadas dan kekotoran-kekotoran.
2.  Membersihkan anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
3.  Membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina, dan
4.  Membersihkan pribadi dari selain allah.
 Jadi Pada intinya,  Al-Ghazali cenderung mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan
 Ajaran tasawuf pada landasannya yang asli yaitu al-Qur’an dan Hadis.
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar