a. Materi
Materi mempunyai dua pengertian, yaitu arti materi menurut filsafat, dan
materi menurut ilmu alam. Materi menurut ilmu alam mempunyai arti yang lebih
sempit daripada arti materi menurut filsafat.
Materi menurut ilmu alam, ialah segala sesuatu yang mempunyai susunan atau
yang tersusun secara organis atau dengan kata lain benda. Benda menurut ilmu
alam mempunyai tiga bentuk yaitu benda padat (solid), benda cair (liquid) dan
gas (gasceus).
Materi menurut filsafat, ialah segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh indera
manusia, serta bisa menimbulkan ide-ide tertentu. Dengan begitu pengartian
materi menurut filsafat mencakup pula pengertian materi menurut ilmu alam.
Materi mempunyai peranan menetukan ide, materi menimbulkan ide. Ide manusia
timbul setelah terlebih dahulu suatu materi ditangkap oleh indera. Sudah jelas
yang “memproduksi” ide itu adalah sebuah materi yang sudah mencapai titik
perkembangan yang sangat tinggi yang disebut dengan otak.
b. Ide.
Sebagaimana yang diterangkan diatas, materialisme dialektis berpendapat
bahwa ide itu dilahirkan dan ditentukan oleh materi, ini mengandung dua
pengertian:
1. Dipandang
dari proses asalnya ide / pikiran, nyatalah bahwa sensasi (perasaan) itu tidak
dilahirkan oeh materi biasa. Melainkan semacam organisme tertentu yang telah
mencapai perkembangan yang sangat tinggi dan mempunyai struktur yang sangat
complex yang kita sebut sebagai otak. Tanpa otak tidak akan ada pikiran / ide,
otak atau system urat syaraf yang sangat kompleks adalah hasil tertinggi dari
proses perkembangan alam. Oleh karena itu ide juga merupakanproduk dari proses
perkembangan dari alam.
2. Dipandang
dari isinya, bagaimanapun ide adalah pencerminan dari kenyataan obyektif. Marx
berkata bahwa: “ide tidak lain daripada dunia materiil yang dicerminkan oleh
otak manusia, dan diterjemah kan dalam bentuk bentuk pikiran”.
Pencerminan itu hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung antara
kesadaran manusia dengan dunia luar, dengan praktek sosial manusia. Oleh karenanya
ide juga merupakan produk dari proses perkembangan praktek sosial manusia.
Ide adalah cermin dari materi atau merupakan bentuk lain dari materi.
Tetapi ide tidak mesti sama dengan materi, ide dapat menjangkau jauh didepan
materi. Walau begitu ide tidak akan dapat lepas dari materi. Materi
menentukan ide, sedangkan ide mempunyai peranan aktif terhadap perkembangan
materi. Jadi ide mempunyai peranan aktif, tidak pasif seperti pencerminan
cermin biasa.
Dengan demikian jelaslah pengertian materialisme dialektis tentang materi
dan ide bertentangan dengan paham idealisme yang menganggap ide adalah yang
terlebih dahulu ada daripada materi. Materialisme dialektis disatu pihak
mengatakan materi ada terlebih dahulu daripada ide, tetapi dipihak lain
mengakui peranan aktif daripada ide dalam perkembangan materi, ini mengandung
dua pengertian :
1. Seperti
dijelaskan diatas ide adalah pencerminan materi, tetapi proses pencerminan itu
tidak semudah atau sesimple pencerminan dengan kaca-cermin, yang hanya bisa
menjelaskan gejala luar saja. Melainkan melalui pencerminan yang aktif, melalui
proses pemikiran yang rumit sehingga dapat mencerminkan kenyataan obyektif
sebagaimana adanya, baik mengenal sesuatu itu dari gejala luarnya maupun gejala
dalamnya atau hakekat suatu materi. Peranan aktif dari ide inilah yang
memungkinkan manusia menyempurnakan alat-alat atau perkakas untuk memperbesar
kemampuannya dalam mengenal atau mencerminkan keadaan maupun mengubah keadaan.
2. Peranan
aktif ide itu berarti dalam mengenal dan mengubah keadaan itu manusia bertindak
dengan sadar, dengan motif atau tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
praktek sosialnya untuk kehidupan.
Ide revolusioner yaitu ide yang mencerminkan hukum-hukum perkembangan
keadaan obyektif, memainkan peranan untuk mendorong perkembangan keadaan.
Sebaliknya ide reaksioner, ialah ide yang berlawanan dengan hukum-hukum
perkembangan keadaan obyektif dan menghambat kemajuan.
Dengan dijelaskannya keprimeran materi dan peranan
aktif ide, materialisme dialektis mengajarkan supaya dalam memandang dan
memecahkan permasalahan harus bertolak dari kenyataan yang kongkrit dan
berdasarkan data-data yang obyektif, dan jangan bersandar pada dugaan-dugaan
subyektif dan hanya terpaku pada buku-buku yang mati, dan juga harus ditujukan
pada kebutuhan praktek yang kongkrit. Dipihak lain ia memperingatkan kita
kepada pentingnya teori, tetapi dipihak lain ia menolak “pendewaan” kepada
teori atau dengan kata lain menentang dengan tegas terhadap kedogmatisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar