Suatu hari pada jaman Wild West, seorang
jago tembak yang kenamaan ditantang seorang petani yang mabuk. Petani ini
adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan jango,yang bisa tembak sana tembak
sini sambil tutup mata, setelah dia minum wiski dan melahap 16 jenis masakan
pesta. Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan disebabkan otaknya yang
sedang out dari udara. Kalau waras,manas berani dia menantang penembak
profesional yang sudah punya reputasi seantero dunia,dunianya koboi tentu saja.
Nah,apa yang akan terjadi? Bisik bandar taruhan. Bukankah kejadian semacam
ini jarang ditemui seperti menemukan orang bisu sedang menyanyi? Lalu mulailah
bandar taruhan ini mengumpulkan data dan informasi mengenai kedua gladiator
yang akan bertarung sampai mati . Nama: Franco Nero,KTP nomor 9941940,RT 010,RW
13. Reputasi: 30 duel,30 kali menang dengan TM (tembak mati atau KO ,dalam
Boxing).Duilah. Sedangkan petani kita namanya belum tercatat dalam daftar
Guiness Record,kecuali dalam buku bapak camat,sebab dia masih menunggak Ipeda.
Berapa pasar taruhan kita? Bila semuanya berjalan beres,saran konsultan
kepada bandar taruhan itu,berdasarkan data yang tercatat,maka paling tidak 30
berbanding 1 yang diramalkan petani malang itu akan mendapat one way ticket ke
surga. Lantas apanya yang mungkin tak beres? Tanya bandar kita,yang benar-benar
ingin aman menanam modalnya.
Ya,bermacam-macam,jawab konsultan yang sedang ngobyek ini yang pekerjaan
sebenarnya adalah dosen filsafat ilmu di universitas swasta,umpamanya katakan
sajalah bahwa pistol si jango itu punya kehendak sendiri (free
will),kan berabe?
Berabe gimana ? Ya mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang
berdosa,apa lagi seorang nonprofesional yang belum diakreditasi.jadi nembak ya
nembak namun nembaknya ngawur seperti tendangan PSSI.
Ah,itun nonsens,jawab bandar taruhan,itu bersifat akademik dan sangat
spekulatif,mana ada pistol punya pilihan bebas,serkiranya pistol ditembakkan
dan tepat pada sasaran maka secara deterministik sasaran itu akan kena.(rupanya
bandar taruhan ini waktu sekolah di sekolah bisnis mengambil juga matakuliah
etika berniaga)
Oke,jawab konmsultan
kita,namun bagaimana kalau pistolnya macet?
Macet bagaimana? Ya,Macet,klik! Jawab konsultan itu.Dari data yang
dikumpulkan ternyata bahwa dari 100 peluru yang ditembakkan sebuah pistol maka
1 diantaranya adalah macet.Artinya,secara probabilistik,meskipun peluangnya 1
dalam 100,mungkin saja pistol jago kita itu macet,yang menyebabkan dia
tersambar “chance” (kebetulan) berupa nasib.
Nah,lalu merenunglah bandar taruhan kita,seperti juga merenungnya para
filsuf ilmu sesudah itu.Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk
kepada determinisme,yakni hukum alam yang bersifat unoiversal,apakah hukum
semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan
bebas,ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang,sekadar tangkapan
probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas, dan
probabilistik merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik.Tanpa
mengenal ketiga aspek ini,sarta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah
yang merupakan kompromi,akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan
yang baik.
Nanti dulu,potong konsultan yang merangkap jadi filsuf ilmu,pembahasan
mengenai determinisme,pilihan bebas dan probabilistik itu baru dapat dilakukan
sekiranya bahwa hukum semacam itu memang ada .sekiranya hukum yang mengatur
kejadian alam itu tidak ada maka masalah determinisme,probababilitas dan
kehendak bebas itun sama sekali tidak akan muncul,kan?
Benar,juga ya,sekiranya hukum alam itu memang benar-benar tidak ada maka
tidak akana ada permasalahan dengan determinisme, probabilistik atau pilihan
bebas.dengan demikian maka tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan
panas, tekanan dengan volume ,atau AQ dengan keberhasilan belajar.Alhasil lalu
ilmu itu sendiri pun tidak ada sebab ilmu justru mempelajari hukum alam seperti
ini.
Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai
kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka pembicaraan kita semuanya
lantas sia-sia, tukas teoritikus filsafat ilmu. Hukum disini diartikan sebagai
suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar
peserta,gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil
yang sama,yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu, seperti
kata coca cola, berlaku kapan saja dan dimana saja.Bagaimana?
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588- 1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal.Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang
berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan
lebih dulu.Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut
pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberika
alternatif
Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan
berfilsafat.(sudah agak lebih jelas mengenai kaitan antara ilmu dan filsafat ?)
Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka
apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini
dibidik ilmu maka kasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa
gelintir pernyataan yang bersifat universal saja seperti semua manusia akhirnya
akan mati juga apakah orang ini Robert Redford,Dra.Tatik atau Bagio.Semua
manusia berkaki dua,umpamanya,tidak memenuhi persyaratan ini,sebab ada juga
yang berkaki satu malahan juga mungkin tiga atau empat,masih ingat teka-teki
waktu kita masih jadi kanak-kanak:makhluk apa,ayo,yang masih kecil berkaki
empat,sudah besar berkaki dua,sudah tua menjadi tiga?.
Demikian juga,sekiranya sufat universal semacam ini yang disyaratkan
ilmu,bagaimana kita mampu memenuhinyam,disebabkan kemampuan manusia,yang
mungkin mengalami semua kejadian?.katakan saja bahwa kita unmpamanya
menyimpulkan: Matahari selalu terbit di barat dan terbenam di timur;beranikah
kita menjamin siapa tahu,pada hari anu dan bulan anu di tahun ke 2000
an,kejadiannya lalu terbalik yang mengakibatkan kesimpulan itu tidak berlaku?
Atau baiklah kita persempit menjadi pernyataan yang dibatasi masa kini
seperti: pada hari ini bulan ini tahun 1982 ini,semua manusia indonesia memakai
celana dalam.Oke kata saya,tetapi bagaimana caranya kita dapat sampai pada
kesimpulan semacam ini? Ya,mudah saja, periksa semua celana dalam semua bangsa
indonesia,baik yang punya KTP atau tidak ,dari sabang sampai metrauke,apakah
mereka memakai celana atau tidak.
Tapi untuk itu kan sudah ada seni,potong ilmuan yang kerjanya memang
melakukan generalisasi.Filsuf eksistensialis ini memang hebat sebagai seniman
namun kurang meyakinkan sebagai filsuf,gerutu dia.(Cobalah Albert Camus sebagai
“aperitif” dan Jean Paul Sartre sebagai main course).yang kita butuhkan adalah
pengetahuan yang berada di tengah-tengah,antara kemutlakan yang dipunyai agama,dan
keunikan individual yang bersifat seni,sambungnya.
Nah, kompromi yang diusulkan ilmuan inilah yang dipakai landasan ilmu,sebab
ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan
masalah praktis sehari-hari,tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti agama
yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dan
kehidupan ini.Walaupun demikian sampai tahap tertentun ilmu perlu memiliki
keabsahan dalam melakukan generalisasi ,sebab pengetahuan yang bersifat
personal dan individual seperti upaya seni,tidaklah bersifat praktis.Jadi di
antara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya
terhadap penafsiran probabilistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar