Jumat, 23 Desember 2016

Apa Sih Asumsi itu?


Suatu hari pada jaman Wild West, seorang jago tembak yang kenamaan ditantang seorang petani yang mabuk. Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan jango,yang bisa tembak sana tembak sini sambil tutup mata, setelah dia minum wiski dan melahap 16 jenis masakan pesta. Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan disebabkan otaknya yang sedang out dari udara. Kalau waras,manas berani dia menantang penembak profesional yang sudah punya reputasi seantero dunia,dunianya koboi tentu saja.
Nah,apa yang akan terjadi? Bisik bandar taruhan. Bukankah kejadian semacam ini jarang ditemui seperti menemukan orang bisu sedang menyanyi? Lalu mulailah bandar taruhan ini mengumpulkan data dan informasi mengenai kedua gladiator yang akan bertarung sampai mati . Nama: Franco Nero,KTP nomor 9941940,RT 010,RW 13. Reputasi: 30 duel,30 kali menang dengan TM (tembak mati atau KO ,dalam Boxing).Duilah. Sedangkan petani kita namanya belum tercatat dalam daftar Guiness Record,kecuali dalam buku bapak camat,sebab dia masih menunggak Ipeda.
Berapa pasar taruhan kita? Bila semuanya berjalan beres,saran konsultan kepada bandar taruhan itu,berdasarkan data yang tercatat,maka paling tidak 30 berbanding 1 yang diramalkan petani malang itu akan mendapat one way ticket ke surga. Lantas apanya yang mungkin tak beres? Tanya bandar kita,yang benar-benar ingin aman menanam modalnya.
Ya,bermacam-macam,jawab konsultan yang sedang ngobyek ini yang pekerjaan sebenarnya adalah dosen filsafat ilmu di universitas swasta,umpamanya katakan sajalah bahwa pistol si jango itu punya kehendak sendiri  (free will),kan berabe?
Berabe gimana ? Ya mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang berdosa,apa lagi seorang nonprofesional yang belum diakreditasi.jadi nembak ya nembak namun nembaknya ngawur seperti tendangan PSSI.
Ah,itun nonsens,jawab bandar taruhan,itu bersifat akademik dan sangat spekulatif,mana ada pistol punya pilihan bebas,serkiranya pistol ditembakkan dan tepat pada sasaran maka secara deterministik sasaran itu akan kena.(rupanya bandar taruhan ini waktu sekolah di sekolah bisnis mengambil juga matakuliah etika berniaga)
Oke,jawab konmsultan kita,namun bagaimana kalau pistolnya macet?
Macet bagaimana? Ya,Macet,klik! Jawab konsultan itu.Dari data yang dikumpulkan ternyata bahwa dari 100 peluru yang ditembakkan sebuah pistol maka 1 diantaranya adalah macet.Artinya,secara probabilistik,meskipun peluangnya 1 dalam 100,mungkin saja pistol jago kita itu macet,yang menyebabkan dia tersambar “chance” (kebetulan) berupa nasib.
Nah,lalu merenunglah bandar taruhan kita,seperti juga merenungnya para filsuf ilmu sesudah itu.Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme,yakni hukum alam yang bersifat unoiversal,apakah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas,ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang,sekadar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas, dan probabilistik merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik.Tanpa mengenal ketiga aspek ini,sarta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi,akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan yang baik.
Nanti dulu,potong konsultan yang merangkap jadi filsuf ilmu,pembahasan mengenai determinisme,pilihan bebas dan probabilistik itu baru dapat dilakukan sekiranya bahwa hukum semacam itu memang ada .sekiranya hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada maka masalah determinisme,probababilitas dan kehendak bebas itun sama sekali tidak akan muncul,kan?
Benar,juga ya,sekiranya hukum alam itu memang benar-benar tidak ada maka tidak akana ada permasalahan dengan determinisme, probabilistik atau pilihan bebas.dengan demikian maka tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume ,atau AQ dengan keberhasilan belajar.Alhasil lalu ilmu itu sendiri pun tidak ada sebab ilmu justru mempelajari hukum alam seperti ini.
Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka pembicaraan kita semuanya lantas sia-sia, tukas teoritikus filsafat ilmu. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta,gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama,yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu, seperti kata coca cola, berlaku kapan saja dan dimana saja.Bagaimana?
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588- 1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal.Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu.Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberika alternatif
Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat.(sudah agak lebih jelas mengenai kaitan antara ilmu dan filsafat ?) Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini dibidik ilmu maka kasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja seperti semua manusia akhirnya akan mati juga apakah orang ini Robert Redford,Dra.Tatik atau Bagio.Semua manusia berkaki dua,umpamanya,tidak memenuhi persyaratan ini,sebab ada juga yang berkaki satu malahan juga mungkin tiga atau empat,masih ingat teka-teki waktu kita masih jadi kanak-kanak:makhluk apa,ayo,yang masih kecil berkaki empat,sudah besar berkaki dua,sudah tua menjadi tiga?.
Demikian juga,sekiranya sufat universal semacam ini yang disyaratkan ilmu,bagaimana kita mampu memenuhinyam,disebabkan kemampuan manusia,yang mungkin mengalami semua kejadian?.katakan saja bahwa kita unmpamanya menyimpulkan: Matahari selalu terbit di barat dan terbenam di timur;beranikah kita menjamin siapa tahu,pada hari anu dan bulan anu di tahun ke 2000 an,kejadiannya lalu terbalik yang mengakibatkan kesimpulan itu tidak berlaku?
Atau baiklah kita persempit menjadi pernyataan yang dibatasi masa kini seperti: pada hari ini bulan ini tahun 1982 ini,semua manusia indonesia memakai celana dalam.Oke kata saya,tetapi bagaimana caranya kita dapat sampai pada kesimpulan semacam ini? Ya,mudah saja, periksa semua celana dalam semua bangsa indonesia,baik yang punya KTP atau tidak ,dari sabang sampai metrauke,apakah mereka memakai celana atau tidak.
Tapi untuk itu kan sudah ada seni,potong ilmuan yang kerjanya memang melakukan generalisasi.Filsuf eksistensialis ini memang hebat sebagai seniman namun kurang meyakinkan sebagai filsuf,gerutu dia.(Cobalah Albert Camus sebagai “aperitif” dan Jean Paul Sartre sebagai main course).yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang berada di tengah-tengah,antara kemutlakan yang dipunyai agama,dan keunikan individual yang bersifat seni,sambungnya.
Nah, kompromi yang diusulkan ilmuan inilah yang dipakai landasan ilmu,sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari,tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dan kehidupan ini.Walaupun demikian sampai tahap tertentun ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi ,sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni,tidaklah bersifat praktis.Jadi di antara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar