Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad
ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama
Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu
Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu
tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri
dan menenun wol.
Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun
kain bulu dan seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan
berbuat jasa kepada mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak
yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah
atas doanya, dia meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia meninggal dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang
sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib
saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya
kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan
pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar
mereka.”
Akan tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan
untuk kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup
sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka
al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya
hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf
al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal
perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi
ulama terkenal di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan
Zain ad-Dîn.
Dia mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad
ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan
dan memasuki pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata
pelajaran yang lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat
di sini, dia kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah
dipelajarinya sambil belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487
H). Al-Ghazali belajar pada gurunya tersebut selama 20 tahun.
Setelah dua atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali
melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat
478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di
Nisyapur dia juga melanjutkan pelajaran tasawwuf kepada Syekh Abu Ali
al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar
tersebut dia juga mulai mengajar dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478
H/1085 M, al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana
dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat yang
tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum
perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan
menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang
lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna.
Paham ini kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa
berikutnya. Setelah Imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup
dikuasainya, dia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan
seminar di kalangan ulama dan intelektual.
Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas
Nizamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat
berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan
lain-lainya.
Para mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh
al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan tersebut sering terpukau dengan
kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti
perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika dia menjadi
sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi
lahirnya saja, tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual
dan kerohanian yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada
mulai muncul dan ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa
kekosongan dalam uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha.
Pemikiran di kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak
memberinya keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem
ortodoksi dan perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal.
Pada tahun 488 H/1095 M ia menderita penyakit jiwa yang membuat dirinya
secara fisik tak dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian ia
meninggalkan Baghdad dengan dalih untuk melaksanakan haji, tetapi sebenarnya
itu hanya dalih untuk meninggalkan status guru besarnya dan karirnya secara
keseluruhan selaku ahli hukum dan teolog.
Perjalanannya setelah meninggalkan Baghdad dan pergolakan batinnya
menuju sufistik, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.Akhir kehidupan
beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadis dan berkumpul dengan
ahlinya. Berkata Imam Adz-Dzahābi, “Pada akhir kehidupannya, beliau
tekun menuntut ilmu hadis dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahīh Bukhāri dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam
kitab Ats-Tsābat ‘Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya).
Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu
berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil
dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya
patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”Kemudian beliau meluruskan
kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning
(menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz-Dzahābi dalamSiyār A’lam Nubāla 6/34).
Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505
H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqāt Asy Syafī’iyah 6/201).
Dalam muqaddimah kitab “Ihyā ‘Ulūmuddīn” Dr. Badawi Thabana
menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab. 21 kitab kategori
Kitab Filsafat dan Ilmu Kalam, 7 kitab kategori Kitab Ilmu Fiqh dan
Ushulul Fiqh, 17 kitab kategori Kitab Ilmu Akhlak dan Tasawuf, dan 2
kitab kategori Kitab Ilmu Tafsir. Dari sini terlihat bahwa al-Ghazali
adalah seorang ulama’ yang lintas disiplin ilmu. Sehingga tidaklah berlebihan
jika dia dijuluki sebagai Hujjatu al-Islam, karena keluasan
dan kedalaman ilmunya serta semangatnya yang berkobar dalam membela Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar