Minggu, 18 Desember 2016

‘’ Biografi Al-Ghazāli Seorang Sufi dari Kalangan Umat Islam’’


Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.
Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia meninggal dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”
Akan tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.
Dia mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar pada gurunya tersebut selama 20 tahun.
Setelah dua atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan pelajaran tasawwuf  kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna.
 Paham ini kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya. Setelah Imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual.
Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya.
Para mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal.
Pada tahun 488 H/1095 M ia menderita penyakit jiwa yang membuat dirinya secara fisik tak dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan dalih untuk melaksanakan haji, tetapi sebenarnya itu hanya dalih untuk meninggalkan status guru besarnya dan karirnya secara keseluruhan selaku ahli hukum dan teolog.
 Perjalanannya setelah meninggalkan Baghdad dan pergolakan batinnya menuju sufistik, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadis dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz-Dzahābi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadis dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahīh Bukhāri dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats-Tsābat ‘Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya). Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz-Dzahābi dalamSiyār A’lam Nubāla 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqāt Asy Syafī’iyah 6/201).
Dalam muqaddimah kitab “Ihyā ‘Ulūmuddīn” Dr. Badawi Thabana menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab. 21 kitab kategori Kitab Filsafat dan Ilmu Kalam, 7 kitab kategori Kitab Ilmu Fiqh dan Ushulul Fiqh, 17 kitab kategori Kitab Ilmu Akhlak dan Tasawuf, dan 2 kitab kategori Kitab Ilmu Tafsir. Dari sini terlihat bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama’ yang lintas disiplin ilmu. Sehingga tidaklah berlebihan jika dia dijuluki sebagai Hujjatu al-Islam, karena keluasan dan kedalaman ilmunya serta semangatnya yang berkobar dalam membela Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar