Kritik al-Ghazali atas metafisika sebenarnya meliputi kritiknya
terhadap Islamic Aristotelianism (pemikiran filosof Muslim
yang dipengaruhi oleh Aristoteles), yang berkembang menjadi teologi rasional
berdasarkan metafisika Aristoteles. Karena teologi ini bersifat rasional, maka
asumsi dasarnya ialah bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar
dari persoalan-persoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak
oleh al-Ghazali. Dan penolakan ini sebagaimana terjadi melibatkan pembuktian
kesalahan-kesalahan asumsi tersebut secara rasional.
Dalam kitab Munqiz min al-Dhalāl, al-Ghazali mengelompokkan
filosof menjadi tiga golongan.
1.
Filosof Materialis (Dahriyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.
2.
Filosof Naturalis (Thabi’iyun)
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam
ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka merasa cukup banyak
menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha
Pencipta di alam ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan hari berbangkit.
3.
Filosof Ketuhanan
Mereka adalah filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan
Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan dirinya dari sisa-sisa
kekafiran dan keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir
dan begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di
dunia Islam.
Menurut al-Ghazali, filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan
al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Filsafatnya yang harus dikafirkan (orang yang menganut pendapat ini
dianggap kafir)
2.
Filsafat yang dianggap
bid’ah (penganutnya berarti telah berbuat bid’ah)
3. Filsafat yang tidak harus diingkari sama sekali.
Untuk lebih jelasnya, pengelompokan filsafat di atas dapat dilihat dari
pembagian ilmu filsafat yang dikemukakan al-Ghazali. Ia membaginya menjadi
enam bidang: ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika dan
metafisika (ketuhanan). Selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Ghazali, ilmu-ilmu
tersebut dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syariat Islam
kendatipun ada hal negatif yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut.
Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahafut
al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahlul bid’ah dan
kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh
masalah yaitu: Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Ghazali
membuat filosof menjadi kafir yaitu:
1. Alam dan semua substansi qadim.
2.
Allah tidak mengetahui
yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai ketiga hal
tersebut oleh al-Ghazali:
1.
Masalah qadimnya alam
Persoalan ini mendapatkan
porsi pembahasan paling besar dalam kitab Tahafut al-Falasifah,
hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan keqadiman alam. Qadim
mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh
karena itu dia membawa pada pengertian tidak diciptakan. Dengan demikian dapat
dipahami hanya Tuhan yang qadim.
Para
filosof berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya wujud alam bersamaan dengan
wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum
zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti
keterdahuluan sebab dari akibat seperti cahaya dari matahari. Jika dirunut
pemikiran filosof lebih rumit di mengerti daripada pemikiran al-Ghazali.
2.
Masalah Tuhan tidak
mengetahui yang juz’iyyat (parsial)
Para
filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui
zat-Nya dan tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina
mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli.
Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat,
bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui
rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya.
Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu
(bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal.
Menurut al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa
perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu
rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa
perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak
berubah. Lebih lanjut al-Ghazali mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada
di sebelah kanan anda lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke
depan atau belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda. Demikianlah pula
ilmu Allah, Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa)
semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan. Untuk
memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di
antaranya:
a.
QS Yunus (10): 61…..Tidak
luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun
langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
b.
QS Al-Hujurat (49): 16…..
dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perbedaan pendapat antara al-Ghazali dan para filosof muslim tentang
pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya
objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut al-Ghazali
berbedanya obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Perbedaan
prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha menarik
masalah pada tataran konkret, sedangkan para filosof menarik masalah pada
tataran abstrak.
3. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti
adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur, sehingga yang akan merasakan
kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari
agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada
dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di
akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Ia tidak
pula menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat
diketahui berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja
dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyyat).
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak
bersandar pada arti tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan
untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan. Allah berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa
yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata” Demikian pula Firman-Nya:”Aku sediakan bagi
hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh
telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang
Maha Sempurna, perpaduan di antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang
paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini
sesuai dengan agama.
Para filosof muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani
kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad,
berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali
berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal
ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain.
Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh
jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia dan
adanya manusia yang cacat, pincang, dan yang lainnya, maka surga nanti akan ada
sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya.
Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian maka akan terjadi
proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof muslim hanya perbedaan
interpretasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ary,
ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas
Nizamiyah Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni
dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof muslim diwarnai pemikiran
rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun,
antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar