Minggu, 18 Desember 2016

‘’Kritik al-Ghazali terhadap para Filosof’’


Kritik al-Ghazali atas metafisika sebenarnya meliputi kritiknya terhadap Islamic Aristotelianism (pemikiran filosof Muslim yang dipengaruhi oleh Aristoteles), yang berkembang menjadi teologi rasional berdasarkan metafisika Aristoteles. Karena teologi ini bersifat rasional, maka asumsi dasarnya ialah bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalan-persoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh al-Ghazali. Dan penolakan ini sebagaimana terjadi melibatkan pembuktian kesalahan-kesalahan asumsi tersebut secara rasional. 
Dalam kitab Munqiz min al-Dhalāl, al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi tiga golongan.
1.      Filosof Materialis (Dahriyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.
2.      Filosof Naturalis (Thabi’iyun)
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka merasa cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan hari berbangkit.
3.      Filosof Ketuhanan
Mereka adalah filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan dirinya dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Menurut al-Ghazali, filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok:
1.      Filsafatnya yang harus dikafirkan (orang yang menganut pendapat ini dianggap kafir)
2.      Filsafat yang dianggap bid’ah (penganutnya berarti telah berbuat bid’ah)
3.      Filsafat yang tidak harus diingkari sama sekali.
Untuk lebih jelasnya, pengelompokan filsafat di atas dapat dilihat dari pembagian ilmu filsafat yang dikemukakan al-Ghazali. Ia membaginya menjadi enam  bidang: ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika dan metafisika (ketuhanan). Selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syariat Islam kendatipun ada hal negatif yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut.
Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahlul bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah yaitu: Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir yaitu:
1.      Alam dan semua substansi qadim.
2.      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam.
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai ketiga hal tersebut oleh al-Ghazali:
1.      Masalah qadimnya alam
Persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan paling besar dalam kitab Tahafut al-Falasifah, hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan keqadiman alam. Qadim mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh karena itu dia membawa pada pengertian tidak diciptakan. Dengan demikian dapat dipahami hanya Tuhan yang qadim.
Para filosof berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat seperti cahaya dari matahari. Jika dirunut pemikiran filosof lebih rumit di mengerti daripada pemikiran al-Ghazali.
2.      Masalah Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (parsial)
Para filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut al-Ghazali mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan anda lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda. Demikianlah pula ilmu Allah, Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan. Untuk memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya:
a.                          QS Yunus (10): 61…..Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
b.                          QS Al-Hujurat (49): 16….. dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perbedaan pendapat antara al-Ghazali dan para filosof muslim tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut al-Ghazali berbedanya obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedangkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
3. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur, sehingga yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Ia tidak pula menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyyat).
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat)  yang menyedapkan pandangan mata” Demikian pula Firman-Nya:”Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang Maha Sempurna, perpaduan di antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.
Para filosof muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia dan adanya manusia yang cacat, pincang, dan yang lainnya, maka surga nanti akan ada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian maka akan terjadi proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof muslim hanya perbedaan interpretasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ary, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizamiyah Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof muslim diwarnai pemikiran rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar