Tasawuf pada zaman sekarang
digadang-gadang telah kehilangan eksistensinya karena telah terjadi banyak
pergeseran gaya hidup, cara pandang, kemewahan hidup, dan barang yang canggih
sehingga membuat manusia enggan memikirkan hakikat dari hidup, orang-orang
banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan duniawi sehingga eksistensi tasawuf
patut dipertanyakan.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini
sangatlah pesat, apalagi perkembangan di bidang teknologi yang semakin pesat
dan canggih. Era sekarang ini biasa disebut dengan era modern. Teknologi yang
berkembang pesat sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup umat manusia, dengan
teknologi tersebut manusia dapat dengan mudah melakukan segala aktivitas,
dengan kata lain teknologi yang berkembang saat ini berfungsi untuk mempermudah
aktivitas manusia dan mengurangi tingkat keteledoran manusia. Di balik segala
kemudahan yang diperoleh dari perkembangan tekologi, terdapat beberapa masalah
yang timbul, masalah terbesarnya yakni semakin jauhnya manusia dengan Tuhan
sehingga benyak pelanggaran norma-norma keagamaan. Manusia semakin disibukkan
dengan kehidupan dan aktivitas-aktivitas duniawi.
Hal ini dikarenakan tuntutan hidup
yang semakin tinggi dan gaya hidup yang sudah tidak sehat lagi yang menggiring
manusia menjadi hedonis dan materialistis. Sehingga motto “time is money” yang
berlaku di dunia Barat kini berlaku di seluruh penjuru dunia. Hal tersebut
menjadikan manusia lupa pada tujuan hidup sebenarnya hanya untuk menyembah
Allah swt sehingga penyimpangan-penyimpangan agama dan sosial semakin
merajalela dan kerusakan di bumi tidak dapat lagi terelakkan.
Masalah tersebut menjadi bahan
pemikiran para ahli tasawuf untuk mencari cara agar manusia tidak hanya
memikirkan dan sibuk dengan masalah keduniawian semata yang hanya bersifat
sementara atau persinggahan , sementara kehidupan akhirat yang lebih lama
dibandingkan dengan kehidupan dunia dilupakan. Hal ini tentu harus seimbang
antara kedua hal tersebut, karena tidak hanya akhirat saja kehidupan sekarang
pun penting untuk tetap diperjuangkan.
Namun, tasawuf klasik pada umumnya
hanya berkutat dengan hal-hal yang terkait dengan akhirat dan menjauhi
kehidupan dunia, sebagai jalan pintas untuk zaman modern ini tasawuf modern hadir
dengan tetap mementingkan kehidupan keduniawian namun selain itu para
penganutnya tetap taat beribadah dengan intensitas beribadah yang baik, di
samping tetap mentaati amalan-amalan yang sesuai dengan ketentuan syariah. Di
balik gonjang- ganjingnya eksistensi tasawuf, pada era sekarang muncul tasawuf
modern atau biasa disebut dengan neo-sufisme.
Di mana tasawuf modern ini tidak
mengharuskan seorang sufi untuk menyendiri dan lari dari hiruk pikuknya
permasalahan atau gejolak yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan politik
pemerintah. Justru tasawuf modern ini memperbolehkan penganutnya untuk
menggunakan dan mempelajari sains dan teknologi yang berkembang sekarang ini,
dengan acuan tidak berlebihan dalam arti masih dalam taraf sederhana mengikuti
sunnah rasul. Tasawuf modern yang berada di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Buya Hamka dalam bukunya “Tasawuf Modern” yang menjelaskan
bagaimana tata cara tasawufnya orang modern yang menyesuaikan kondisi
masyarakat dan peradaban saat ini dan pemikiran dari Fazlur Rahman yang juga
sangat berpengaruh terhadap tasawuf modern. Tasawuf modern ini menerima
keberadaan ilmu fisika, kedokteran, kimia, biologi, dan ilmu-ilmu sosial
lainnya. Ilmu pengetahuan adalah media manusia untuk membaca, mengerti, dan memahami
ciptaan Tuhan. Ilmu yang shahih tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Kehidupan spiritual itu akan mengantarkan seseorang pada jalan yang benar dan
diridhoi Allah swt. Sehingga seseorang akan mendapatkan hidup yang seimbang
yang berdampak positif bagi kehidupannya sendiri dan khalayak ramai.
Tasawuf tak terlepas dari filasafat
begitu juga dengan awal mula ilmu pengetahuan. Berawal dari para fisuf ulung
seperti Plato, Socrates, Archimedes yang menjadi tonggak ilmu pengetahuan
modern yang berkembang di Barat saat ini. Kemudian, disusul oleh Phytagoras
yang pemikiran sains dan filsafatnya sangat berpengaruh terhadap pemikiran
orang-orang filsafat, sufi, dan pemikiran orang-orang sains. Dimana filsuf dan
sufi akan mengenal Phytagoras dari cara berpikirnya tentang roh manusia yang
sebenarnya suci, kemudian menjadi kotor karena adanya nafsu dalam diri manusia,
sehingga harus dibersihkan dengan cara hidup berkali-kali (reinkarnasi) hingga
jiwa manusia tersebut bersih dan akhirnya dapat kembali kepada Tuhan setelah
menjadi suci kembali. Sedangkan, orang-orang sains akan mengenal Phytagoras
dengan rumus segitiga siku-sikunya dengan mencari hipotenusa dari akar jumlah
kuadrat dua sisi segitiga siku-siku yang saling tegak lurus, persamaan ini
sangat fenomenal dalam ilmu matematika dan fisika, persamaan ini telah
dipelajari dari jenjang sekolah dasar sampai jenjang strata.
Orang-orang sains bertasawuf dengan
cara mencari hakikat Ketuhanan dari ilmu sains yang mereka pelajari. Para
saintis muslim mencoba mengembangkan sains dengan perpaduan antara sumber wahyu
Ilahi dan indrawi. Para saintis muslim menemukan Tuhan tidak hanya dengan
ayat-ayat qauliyah saja, namun dengan ayat-ayat kauniyah yang bertebaran di
alam semesta mulai dari yang berukuran mikro seperti partikel dan atom hingga
berukuran makro seperti benda-benda langit dan alam semesta.
Hal ini akhirnya mendorong beberapa
cendikiawan muslim untuk memadukan antara Islam dan sains. Beberapa tokoh
Indonesia diantaranya Armahedi Mazhar, Ahmad Baiquni, Agus Purwanto, dan
sebagainya. Sedangkan tokoh muslim lainnya yang bukan berasal dari Indonesia
seperti contohnya Shaharir Mohammad Zain dari Malaysia menjelaskan tentang
sejarah telah adanya percobaan integralisme agama dan sains sejak abad ke-9
Masehi.
Pertama, Ahmad Baiquni (1923-1998) adalah
seorang cendikiawan muslim tepatnya fisikawan pertama Indonesia yang belajar
fisika modern khususnya mempelajari tentang fisika nuklir, beliau telah
mengenal Agama Islam dengan baik sejak masih kanak-kanak, beliau telah khatam
juz 30 Al-Qur’an sejak sebelum masuk sekolah dasar. Ahmad Baiquni menulis
sebuah buku yang berjudul “Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman”,
dalam bukunya ini Ahmad Baiquni mengintegrasikan Agama Islam dengan Sains. Buku
ini berisi ayat-ayat yang berhubungan dengan alam semesta (kosmologi). Ahmad
Baiquni megusulkan enam istilah baru dalam penerjemahan Al-Qur’an, antara lain
kata “Sama’” (langit) diterjemahkan sebagai ruang, kata “Dukhan” (asap)
diterjemahkan sebagai embun, kata “Ma’” (air) diterjemahkan sebagai zat alir
atau biasa disebut dengan fluida, kata “Kalam” (pena) diterjemahkan menjadi
karya tulis, kata “ardh” (bumi) diterjemahkan menjadi materi, dan kata “arsy”
(singgasana) diterjemahkan menjadi pemerintahan (Allah).
Kedua, Armahedi Mazhar yang merupakan seorang fisikawan lulusan Institut Teknologi
Bandung (ITB) yang juga seorang filsuf islam mengembangkan buku “Revolusi
Integralisme Islam” sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Menurut Armahedi
Mazhar , sains bisa
disebut sebagai karunia untuk manusia yang tak tertandingi sepanjang zaman
apalagi setelah kelahiran mekanika kuantum yang mengubah segala tatanan dan
teknologi yang semakin canggih sekarang dan berukuran nano (nano teknologi),
yang disebut-sebut bahwa mekanika kuantum adalah puncaknya ilmu pengetahuan dan
peradaban yang dicapai manusia sepanjang sejarah manusia. Sementara itu, sains
juga merupakan salah satu jalan untuk mencari kebenaran objektif. Walaupun
demikian, sains cenderung menjadi otonom sehingga karenanya ia lebih sering dipandang
sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran seperti yang diyakini oleh ilmuwan
terkenal saat ini Stephen Wiliam Hawking yang beranggapan bahwa filsafat telah
mati dan Tuhan tidak turut campur dalam penciptaan alam semesta hal ini ditulis
tegas dalam bukunya “The Grand Design”. Dengan konsepsi yang ditakutkan menjerumuskan
manusia pada semakin jauhnya dengan Tuhan, maka konsep integralisme yang
ditawarkan oleh Arhamedi Mazhar mengandaikan kepaduan antara ilmu-ilmu kealaman
yang materilistis dan fisis dengan ilmu-ilmu kegamaan yang metafisis, dimana
kedua-duanya memiliki tujuan yang sama yakni tauhid dengan kesepadanan skema
vertikal dan harizontal. Konsepsi tersebut mengandaikan bahwa manusia mampu
mencapai Tuhan sebagai sumber dari segala kebenaran dengan agama Islam sebagai
medianya. Manusia yang ditempatkan dalam mikrokosmos dalam Islam merupakan
“pemimpin di muka bumi” yang diberi wewenang oleh Tuhan untuk menguak misteri
ciptaan Tuhan dengan dibekali akal sebagai instrumennya. Yang perlu dingat dalam
hal ini bahwa akal memiliki keterbatasan berpikir sehingga meyakini segala
produk kebenaran pemikiran manusia hanya bersifat sementara seperti yang
diyakini juga oleh orang-orang saintis bahwa sains itu bersifat dinamis
sehingga tidak ada kebenaran yang hakiki, dan tidak akan pernah melampui
kebenaran-kebenaran yang berasal dari Tuhan. Dalam integralisme versi islam,
dikenal adanya dua jenjang kesepaduan, yaitu jenjang vertikal (materi, energi,
informasi, nilai dan sumber nilai) dan jenjang horizontal, bermula dari manusia
sebagai mikrokosmos, masyarakat sebagai mesokosmos, alam semesta sebagai
makrokosmos dan sekalian alam-alam lain sebagai suprakosmos dan berakhir pada
Tuhan sebagai metakosmos. Dengan paradigma integralisme Islam lahirlah
paradigma ilmu islam yakni tauhid. Yakni unifikasi dari ilmu-ilmu kealaman
(duniawi) dan ilmu-ilmu keagamaan (ukhrawi). Dengan demikian ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh
nalar manusia hanya bersifat subyektif interpretatif, baik ilmu-ilmu kealaman
(duniawi) ataupun ilmu-ilmu kegamaan (ukhrawi). Hal ini tidak menafikan
kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama. Namun kebenaran sejati dan
abadi tetap hanya berada di tangan Tuhan, sedangkan kebenaran-kebenaran dalam
ilmu kegamaan bersikap relatif karena dalam kebenaran ilmu keagamaan merupakan
hasil pergulatan rasio manusia dalam menafsirkan agama sehingga melahirkan
berbagai perspektif dalam praksis keberagamaan. Begitu juga dengan ilmu
pengetahuan yang pada dasarnya juga memiliki orientasi untuk mengungkap
kebenaran-kebenaran dari Tuhan melalui penyingkapan-penyingkapan terhadap
seluruh misteri alam sebagai ciptaan-Nya, yang juga dapat melahirkan beragam
paradigma. Sedangkan paradigma tauhid yang dasar dari integralisme tidak lebih
dai nilai etis yang mensyaratkan proses dan hasil dari ilmu pengetahuan harus
diniatkan untuk mencapai ridho Tuhan. Tauhid adalah sebentuk keyakinan yang
diyakini bersifat universal selama diartikan keyakian akan keberadan Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan proses untuk menuju ketauhidan tidak
bisa secara arbitrer diseragamkan dalam bentuk satu perspektif. Tuhan merupakan
kebenaran yang mutlak dan universal, namun untuk menuju ke kebenaran Tuhan
tentunya melibatkan nalar yang berimplikasi pada keberagaman cara pandang
bahkan cenderung berbeda, yang kemudian membentuk ideologi-ideologi
keberagaman. Walaupun beragam warna cara pandang umat islam untuk mencapai
ketauhidan, namun pemahaman tentang tauhid cenderung metafisis. Maka
integralisme Islam dengan paradigma tauhid dalam sistem pengetahuannya yang
berusaha untuk membawa alur ilmu pengetahuan ke ranah metafisis. Hal ini
berlawanan degan sains yang dalam bangunannya haruslah bersifat fisis. Meskipun
berlawanan, namun pada dasarnya mengintegrasikan agama dengan sains diperlukan
agar manusia tetap ingat hakikatnya akan penciptaan seluruh alam semesta.
Dengan melihat fenomena yang terjadi dan bisa ditangkap secara fisis, yang
memproduksi realitas dalam ilmu pengetahuan yang di samping semua itu fenomena
tersebut dapat mengingatkan manusia pada hakikat di balik segala sesuatu yang
fisis masih terdapat kaitan erat dengan ranah metafisis yakni suatu keagungan
dan kebesaran Tuhan dalam menciptakan dan mengatur segala sesuatu yang fisis
tersebut.
Ketiga, fisikawan lainnnya yang
mengintegrasikan konsep sains dan agama islam adalah Agus Purwanto yang kini
menjabat sebagai dosen di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), beliau
menulis buku yang berjudul “Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al-Qur’an yang
Terlupakan”. Dalam bukunya ini beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan sains dalam sebuah buku. Buku ini sangat fenomenal
dikalangan fisikawan muslim Indonesia. Buku ini dapat dijadikan buku sumber
referensi penelitian integrasi agama dan sains, sehingga mendorong para peneliti
untuk mengenal sains dan agama dalam suatu kesinambungan yang akan berdampak
pada pemikiran orang lain bahwa sains tidak hanya berhubungan dengan urusan
dunia saja, namun sains juga merupakan kajian terhadap ayat-ayat kauniyah yang
dapat menggiring manusia untuk memahami kebesaran Allah swt dan menemukan
hakikat hidup dan penciptaan alam semesta. Agus Purwanto dalam bukunya ini
mengajak umat islam untuk menaruh perhatian pada sains sebagai panggilan Ilahi
saja. Buku tersebut dengan fasih menyatakan bahwa mengembangkan teknologi dan
sains merupakan perintah dari Allah. Sehingga menurut Agus Purwanto
berkecimpung dalam dunia sains lebih utama dibandingkan dengan shalat tahajud
pada malam hari. Karena berkecimpung dalam dunia sains dapat berdampak kepada
kemaslahatan hidup orang banyak.
Lain halnya dengan Shaharir Mohamad
Zain, seorang Profesor dalam bidang Matematika, Universitas Kebangsaan Malaysia
dalam bukunya “Pengenalan Sejarah dan Falsafah Sains” yang
menganalogikan konsep sains dengan konsep “objektivitas” dimana orang-orang
sains dikatakan sebagai orang yang berusaha berpikir dan bekerja secara
objektif. Kajian objektif sering disebut sebagai kajian kajian yang tidak
dipengaruhi oleh emosi, cita rasa, budaya, kepercayaan, agama, atau pada umumnya
tidak dipengaruhi oleh sistem masyarakatnya atau dirinya sendiri. Namun, beliau
juga memaparkan bahwa hanya Islam saja yang berhasil mengintegrasikan agama dan
sains sebagaimana tertulis dalam sejarah di abad ke-9 hingga abad ke-11.
Kemudian hingga sampai saat ini kajian-kajian keislaman masih tetap relevan
dengan perkembangan sains yang diyakini oleh masyarakat modern.
Tasawuf orang-orang sains adalah
tasawuf kontemporer atau tasawuf modern, yang di mana orang-orang sains masih
menggunakan ilmunya dan teknologi masa kini untuk kemaslahatan umat dengan
tetap menjaga intensitas ibadahnya yang cukup banyak disamping amalan-amalan
yang sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, orang-orang sains yang
sesungguhnya bertasawuf malah mengharuskan diri mereka berkecimpung langsung
dalam dunia sains ketimbang hanya menyendiri dan jauh dari perkembangan sains
dan teknologi, karena lebih maslahat berkecimpung langsung dan menjadi tonggak
perubahan bagi pemikiran orang-orang modern yang terlena dengan urusan keduniawian,
sehingga orang-orang sains yang bertasawuf ini mencoba menyampaikan kepada
masyarakat modern mengenai hal yang terdapat di balik penciptaan dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta hakikat dari ilmu pengetahuan yang
sebenarnya, sehingga dapat menemukan Tuhan tidak hanya dengan mengkaji
ayat-ayat qauliyah saja tetapi juga dengan ayat-ayat kauniyah. Implementasinya
seperti berdakwah dengan media sosial, mengembangkan ilmu pengetahuan berangkat
dari Al-Quran dan Hadits sehingga tidak menyimpang dari ajaran agama islam,
menggunakan teknologi dengan secukupnya, menyeimbangkan keduniawian dengan
keakhiratan, berkecimpung langsung dalam penelitian dan penyusunan teori,
sehingga ilmu yang akan disebarkan tidak akan menyesatkan masyarakat luas,
menulis buku yang akan mengubah pemikiran masyarakat modern untuk lebih dekat
dengan Allah swt, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar