Minggu, 18 Desember 2016

‘’Tasawuf Untuk Orang –Orang Sains’’


Tasawuf pada zaman sekarang digadang-gadang telah kehilangan eksistensinya karena telah terjadi banyak pergeseran gaya hidup, cara pandang, kemewahan hidup, dan barang yang canggih sehingga membuat manusia enggan memikirkan hakikat dari hidup, orang-orang banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan duniawi sehingga eksistensi tasawuf patut dipertanyakan.
 Perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini sangatlah pesat, apalagi perkembangan di bidang teknologi yang semakin pesat dan canggih. Era sekarang ini biasa disebut dengan era modern. Teknologi yang berkembang pesat sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup umat manusia, dengan teknologi tersebut manusia dapat dengan mudah melakukan segala aktivitas, dengan kata lain teknologi yang berkembang saat ini berfungsi untuk mempermudah aktivitas manusia dan mengurangi tingkat keteledoran manusia. Di balik segala kemudahan yang diperoleh dari perkembangan tekologi, terdapat beberapa masalah yang timbul, masalah terbesarnya yakni semakin jauhnya manusia dengan Tuhan sehingga benyak pelanggaran norma-norma keagamaan. Manusia semakin disibukkan dengan kehidupan dan aktivitas-aktivitas duniawi.
Hal ini dikarenakan tuntutan hidup yang semakin tinggi dan gaya hidup yang sudah tidak sehat lagi yang menggiring manusia menjadi hedonis dan materialistis. Sehingga motto “time is money” yang berlaku di dunia Barat kini berlaku di seluruh penjuru dunia. Hal tersebut menjadikan manusia lupa pada tujuan hidup sebenarnya hanya untuk menyembah Allah swt sehingga penyimpangan-penyimpangan agama dan sosial semakin merajalela dan kerusakan di bumi tidak dapat lagi terelakkan.
Masalah tersebut menjadi bahan pemikiran para ahli tasawuf untuk mencari cara agar manusia tidak hanya memikirkan dan sibuk dengan masalah keduniawian semata yang hanya bersifat sementara atau persinggahan , sementara kehidupan akhirat yang lebih lama dibandingkan dengan kehidupan dunia dilupakan. Hal ini tentu harus seimbang antara kedua hal tersebut, karena tidak hanya akhirat saja kehidupan sekarang pun penting untuk tetap diperjuangkan.
Namun, tasawuf klasik pada umumnya hanya berkutat dengan hal-hal yang terkait dengan akhirat dan menjauhi kehidupan dunia, sebagai jalan pintas untuk zaman modern ini tasawuf modern hadir dengan tetap mementingkan kehidupan keduniawian namun selain itu para penganutnya tetap taat beribadah dengan intensitas beribadah yang baik, di samping tetap mentaati amalan-amalan yang sesuai dengan ketentuan syariah. Di balik gonjang- ganjingnya eksistensi tasawuf, pada era sekarang muncul tasawuf modern atau biasa disebut dengan neo-sufisme.
Di mana tasawuf modern ini tidak mengharuskan seorang sufi untuk menyendiri dan lari dari hiruk pikuknya permasalahan atau gejolak yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan politik pemerintah. Justru tasawuf modern ini memperbolehkan penganutnya untuk menggunakan dan mempelajari sains dan teknologi yang berkembang sekarang ini, dengan acuan tidak berlebihan dalam arti masih dalam taraf sederhana mengikuti sunnah rasul. Tasawuf modern yang berada di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Buya Hamka dalam bukunya “Tasawuf Modern” yang menjelaskan bagaimana tata cara tasawufnya orang modern yang menyesuaikan kondisi masyarakat dan peradaban saat ini dan pemikiran dari Fazlur Rahman yang juga sangat berpengaruh terhadap tasawuf modern. Tasawuf modern ini menerima keberadaan ilmu fisika, kedokteran, kimia, biologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ilmu pengetahuan adalah media manusia untuk membaca, mengerti, dan memahami ciptaan Tuhan. Ilmu yang shahih tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kehidupan spiritual itu akan mengantarkan seseorang pada jalan yang benar dan diridhoi Allah swt. Sehingga seseorang akan mendapatkan hidup yang seimbang yang berdampak positif bagi kehidupannya sendiri dan khalayak ramai. 
Tasawuf tak terlepas dari filasafat begitu juga dengan awal mula ilmu pengetahuan. Berawal dari para fisuf ulung seperti Plato, Socrates, Archimedes yang menjadi tonggak ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat saat ini. Kemudian, disusul oleh Phytagoras yang pemikiran sains dan filsafatnya sangat berpengaruh terhadap pemikiran orang-orang filsafat, sufi, dan pemikiran orang-orang sains. Dimana filsuf dan sufi akan mengenal Phytagoras dari cara berpikirnya tentang roh manusia yang sebenarnya suci, kemudian menjadi kotor karena adanya nafsu dalam diri manusia, sehingga harus dibersihkan dengan cara hidup berkali-kali (reinkarnasi) hingga jiwa manusia tersebut bersih dan akhirnya dapat kembali kepada Tuhan setelah menjadi suci kembali. Sedangkan, orang-orang sains akan mengenal Phytagoras dengan rumus segitiga siku-sikunya dengan mencari hipotenusa dari akar jumlah kuadrat dua sisi segitiga siku-siku yang saling tegak lurus, persamaan ini sangat fenomenal dalam ilmu matematika dan fisika, persamaan ini telah dipelajari dari jenjang sekolah dasar sampai jenjang strata.
Orang-orang sains bertasawuf dengan cara mencari hakikat Ketuhanan dari ilmu sains yang mereka pelajari. Para saintis muslim mencoba mengembangkan sains dengan perpaduan antara sumber wahyu Ilahi dan indrawi. Para saintis muslim menemukan Tuhan tidak hanya dengan ayat-ayat qauliyah saja, namun dengan ayat-ayat kauniyah yang bertebaran di alam semesta mulai dari yang berukuran mikro seperti partikel dan atom hingga berukuran makro seperti benda-benda langit dan alam semesta.
Hal ini akhirnya mendorong beberapa cendikiawan muslim untuk memadukan antara Islam dan sains. Beberapa tokoh Indonesia diantaranya Armahedi Mazhar, Ahmad Baiquni, Agus Purwanto, dan sebagainya. Sedangkan tokoh muslim lainnya yang bukan berasal dari Indonesia seperti contohnya Shaharir Mohammad Zain dari Malaysia menjelaskan tentang sejarah telah adanya percobaan integralisme agama dan sains sejak abad ke-9 Masehi.
Pertama, Ahmad Baiquni (1923-1998) adalah seorang cendikiawan muslim tepatnya fisikawan pertama Indonesia yang belajar fisika modern khususnya mempelajari tentang fisika nuklir, beliau telah mengenal Agama Islam dengan baik sejak masih kanak-kanak, beliau telah khatam juz 30 Al-Qur’an sejak sebelum masuk sekolah dasar. Ahmad Baiquni menulis sebuah buku yang berjudul “Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman”, dalam bukunya ini Ahmad Baiquni mengintegrasikan Agama Islam dengan Sains. Buku ini berisi ayat-ayat yang berhubungan dengan alam semesta (kosmologi). Ahmad Baiquni megusulkan enam istilah baru dalam penerjemahan Al-Qur’an, antara lain kata “Sama’” (langit) diterjemahkan sebagai ruang, kata “Dukhan” (asap) diterjemahkan sebagai embun, kata “Ma’” (air) diterjemahkan sebagai zat alir atau biasa disebut dengan fluida, kata “Kalam” (pena) diterjemahkan menjadi karya tulis, kata “ardh” (bumi) diterjemahkan menjadi materi, dan kata “arsy” (singgasana) diterjemahkan menjadi pemerintahan (Allah).
Kedua, Armahedi Mazhar yang merupakan seorang fisikawan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga seorang filsuf islam mengembangkan buku “Revolusi Integralisme Islam” sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Menurut Armahedi Mazhar , sains bisa disebut sebagai karunia untuk manusia yang tak tertandingi sepanjang zaman apalagi setelah kelahiran mekanika kuantum yang mengubah segala tatanan dan teknologi yang semakin canggih sekarang dan berukuran nano (nano teknologi), yang disebut-sebut bahwa mekanika kuantum adalah puncaknya ilmu pengetahuan dan peradaban yang dicapai manusia sepanjang sejarah manusia. Sementara itu, sains juga merupakan salah satu jalan untuk mencari kebenaran objektif. Walaupun demikian, sains cenderung menjadi otonom sehingga karenanya ia lebih sering dipandang sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran seperti yang diyakini oleh ilmuwan terkenal saat ini Stephen Wiliam Hawking yang beranggapan bahwa filsafat telah mati dan Tuhan tidak turut campur dalam penciptaan alam semesta hal ini ditulis tegas dalam bukunya “The Grand Design”. Dengan konsepsi yang ditakutkan menjerumuskan manusia pada semakin jauhnya dengan Tuhan, maka konsep integralisme yang ditawarkan oleh Arhamedi Mazhar mengandaikan kepaduan antara ilmu-ilmu kealaman yang materilistis dan fisis dengan ilmu-ilmu kegamaan yang metafisis, dimana kedua-duanya memiliki tujuan yang sama yakni tauhid dengan kesepadanan skema vertikal dan harizontal. Konsepsi tersebut mengandaikan bahwa manusia mampu mencapai Tuhan sebagai sumber dari segala kebenaran dengan agama Islam sebagai medianya. Manusia yang ditempatkan dalam mikrokosmos dalam Islam merupakan “pemimpin di muka bumi” yang diberi wewenang oleh Tuhan untuk menguak misteri ciptaan Tuhan dengan dibekali akal sebagai instrumennya. Yang perlu dingat dalam hal ini bahwa akal memiliki keterbatasan berpikir sehingga meyakini segala produk kebenaran pemikiran manusia hanya bersifat sementara seperti yang diyakini juga oleh orang-orang saintis bahwa sains itu bersifat dinamis sehingga tidak ada kebenaran yang hakiki, dan tidak akan pernah melampui kebenaran-kebenaran yang berasal dari Tuhan. Dalam integralisme versi islam, dikenal adanya dua jenjang kesepaduan, yaitu jenjang vertikal (materi, energi, informasi, nilai dan sumber nilai) dan jenjang horizontal, bermula dari manusia sebagai mikrokosmos, masyarakat sebagai mesokosmos, alam semesta sebagai makrokosmos dan sekalian alam-alam lain sebagai suprakosmos dan berakhir pada Tuhan sebagai metakosmos. Dengan paradigma integralisme Islam lahirlah paradigma ilmu islam yakni tauhid. Yakni unifikasi dari ilmu-ilmu kealaman (duniawi) dan ilmu-ilmu keagamaan (ukhrawi).  Dengan demikian ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh nalar manusia hanya bersifat subyektif interpretatif, baik ilmu-ilmu kealaman (duniawi) ataupun ilmu-ilmu kegamaan (ukhrawi). Hal ini tidak menafikan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama. Namun kebenaran sejati dan abadi tetap hanya berada di tangan Tuhan, sedangkan kebenaran-kebenaran dalam ilmu kegamaan bersikap relatif karena dalam kebenaran ilmu keagamaan merupakan hasil pergulatan rasio manusia dalam menafsirkan agama sehingga melahirkan berbagai perspektif dalam praksis keberagamaan. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang pada dasarnya juga memiliki orientasi untuk mengungkap kebenaran-kebenaran dari Tuhan melalui penyingkapan-penyingkapan terhadap seluruh misteri alam sebagai ciptaan-Nya, yang juga dapat melahirkan beragam paradigma. Sedangkan paradigma tauhid yang dasar dari integralisme tidak lebih dai nilai etis yang mensyaratkan proses dan hasil dari ilmu pengetahuan harus diniatkan untuk mencapai ridho Tuhan. Tauhid adalah sebentuk keyakinan yang diyakini bersifat universal selama diartikan keyakian akan keberadan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan proses untuk menuju ketauhidan tidak bisa secara arbitrer diseragamkan dalam bentuk satu perspektif. Tuhan merupakan kebenaran yang mutlak dan universal, namun untuk menuju ke kebenaran Tuhan tentunya melibatkan nalar yang berimplikasi pada keberagaman cara pandang bahkan cenderung berbeda, yang kemudian membentuk ideologi-ideologi keberagaman. Walaupun beragam warna cara pandang umat islam untuk mencapai ketauhidan, namun pemahaman tentang tauhid cenderung metafisis. Maka integralisme Islam dengan paradigma tauhid dalam sistem pengetahuannya yang berusaha untuk membawa alur ilmu pengetahuan ke ranah metafisis. Hal ini berlawanan degan sains yang dalam bangunannya haruslah bersifat fisis. Meskipun berlawanan, namun pada dasarnya mengintegrasikan agama dengan sains diperlukan agar manusia tetap ingat hakikatnya akan penciptaan seluruh alam semesta. Dengan melihat fenomena yang terjadi dan bisa ditangkap secara fisis, yang memproduksi realitas dalam ilmu pengetahuan yang di samping semua itu fenomena tersebut dapat mengingatkan manusia pada hakikat di balik segala sesuatu yang fisis masih terdapat kaitan erat dengan ranah metafisis yakni suatu keagungan dan kebesaran Tuhan dalam menciptakan dan mengatur segala sesuatu yang fisis tersebut.
Ketiga, fisikawan lainnnya yang mengintegrasikan konsep sains dan agama islam adalah Agus Purwanto yang kini menjabat sebagai dosen di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), beliau menulis buku yang berjudul “Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan”. Dalam bukunya ini beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sains dalam sebuah buku. Buku ini sangat fenomenal dikalangan fisikawan muslim Indonesia. Buku ini dapat dijadikan buku sumber referensi penelitian integrasi agama dan sains, sehingga mendorong para peneliti untuk mengenal sains dan agama dalam suatu kesinambungan yang akan berdampak pada pemikiran orang lain bahwa sains tidak hanya berhubungan dengan urusan dunia saja, namun sains juga merupakan kajian terhadap ayat-ayat kauniyah yang dapat menggiring manusia untuk memahami kebesaran Allah swt dan  menemukan hakikat hidup dan penciptaan alam semesta. Agus Purwanto dalam bukunya ini mengajak umat islam untuk menaruh perhatian pada sains sebagai panggilan Ilahi saja. Buku tersebut dengan fasih menyatakan bahwa mengembangkan teknologi dan sains merupakan perintah dari Allah. Sehingga menurut Agus Purwanto berkecimpung dalam dunia sains lebih utama dibandingkan dengan shalat tahajud pada malam hari. Karena berkecimpung dalam dunia sains dapat berdampak kepada kemaslahatan hidup orang banyak.
Lain halnya dengan Shaharir Mohamad Zain, seorang Profesor dalam bidang Matematika, Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bukunya “Pengenalan Sejarah dan Falsafah Sains” yang menganalogikan konsep sains dengan konsep “objektivitas” dimana orang-orang sains dikatakan sebagai orang yang berusaha berpikir dan bekerja secara objektif. Kajian objektif sering disebut sebagai kajian kajian yang tidak dipengaruhi oleh emosi, cita rasa, budaya, kepercayaan, agama, atau pada umumnya tidak dipengaruhi oleh sistem masyarakatnya atau dirinya sendiri. Namun, beliau juga memaparkan bahwa hanya Islam saja yang berhasil mengintegrasikan agama dan sains sebagaimana tertulis dalam sejarah di abad ke-9 hingga abad ke-11. Kemudian hingga sampai saat ini kajian-kajian keislaman masih tetap relevan dengan perkembangan sains yang diyakini oleh masyarakat modern.
Tasawuf orang-orang sains adalah tasawuf kontemporer atau tasawuf modern, yang di mana orang-orang sains masih menggunakan ilmunya dan teknologi masa kini untuk kemaslahatan umat dengan tetap menjaga intensitas ibadahnya yang cukup banyak disamping amalan-amalan yang sesuai dengan ketentuan syariah. Selain itu, orang-orang sains yang sesungguhnya bertasawuf malah mengharuskan diri mereka berkecimpung langsung dalam dunia sains ketimbang hanya menyendiri dan jauh dari perkembangan sains dan teknologi, karena lebih maslahat berkecimpung langsung dan menjadi tonggak perubahan bagi pemikiran orang-orang modern yang terlena dengan urusan keduniawian, sehingga orang-orang sains yang bertasawuf ini mencoba menyampaikan kepada masyarakat modern mengenai hal yang terdapat di balik penciptaan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta hakikat dari ilmu pengetahuan yang sebenarnya, sehingga dapat menemukan Tuhan tidak hanya dengan mengkaji ayat-ayat qauliyah saja tetapi juga dengan ayat-ayat kauniyah. Implementasinya seperti berdakwah dengan media sosial, mengembangkan ilmu pengetahuan berangkat dari Al-Quran dan Hadits sehingga tidak menyimpang dari ajaran agama islam, menggunakan teknologi dengan secukupnya, menyeimbangkan keduniawian dengan keakhiratan, berkecimpung langsung dalam penelitian dan penyusunan teori, sehingga ilmu yang akan disebarkan tidak akan menyesatkan masyarakat luas, menulis buku yang akan mengubah pemikiran masyarakat modern untuk lebih dekat dengan Allah swt, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar