Pada tahun 484 H, saat al-Ghazali berada di puncak kejayaan karirnya,
banyak mahasiswa yang mengagumi dan mengikuti kuliahnya, begitu pula para ulama
dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya. Pada saat
itu pula al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya,
sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat
lahiriyah (fisioterapi). Akhirnya ia meninggalkan pekerjaanya dan meminta
saudaranya Ahmad untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar dan ia sendiri
melakukan perjalanan (pengembaraan) untuk mencari jawaban atas keragu-raguannya
yang nanti akhirnya akan membawa beliau menuju kehidupan sufistik.
Keputusan al-Ghazali meninggalkan karir dan menolak semua pengetahuan
yang telah dicapainya sangat mengejutkan sekaligus membingungkan setiap orang
yang mendengarnya. Al-Ghazali menuangkan semua alasan-alasan keputusannya itu
dalam kita Al-Munqîdh min-al-Dhalāl. Di dalam kitab itu,
al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan mempelajari sufisme ditemukan jalan menuju
Tuhan, yaitu jalan yang tidak sama dengan yang dialaminya selama ini.
Dengan merenungkan kedudukannya di Baghdad, al-Ghazali merasakan adanya
belenggu tangannya; Ia menganggap karya terbaiknya yang memuat kajian dan
ajarannya tidak mempunyai arti penting ataupun membantu mendekatkan diri kepada
Tuhan. Sebab motif yang mendorong di belakang penulisan karyanya itu hanya
karena ambisi demi popularitas untuk memperoleh keuntungan sendiri.
Perjalanan pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488
H/1095 M (menurut versi lain 489 H/1096 M). Al-Ghazali memasuki kota tersebut
dengan berpakaian orang miskin, duduk di depan pintu Khanqah
Samisatiyah, akhirnya seorang fakir yang tak dikenal memperkenankan ia
masuk. Kemudian al-Ghazali menyibukkan diri dengan membersihkan halaman yang
diperuntukkan bagi pengunjung Khanqah tersebut, dan bekerja
sebagai pembantu di sana. Di Masjid Umawi ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak
menara sebelah Barat sepanjang hari dengan makan dan minum yang terbatas.
Menara tersebut sekarang dikenal dengan menara al-Ghazali (Minaret of
al-Ghazali). Ia memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah
terus-menerus selama dua tahun di Damaskus. Al-Ghazali hidup dengan menjalani
hidup asketik menggunakan pakaian yang kasar dan mengurangi makan dan minum,
mempergunakan waktunya untuk beribadah. Sedangkan waktu luangnya digunakan
untuk berkarya, di sinilah ia menulis karya terbesarnya Ihyā Ulūm
al-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Setelah itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di
Palestina. Di sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci
pintunya untuk beruzlah dan berzikir. Ia juga berangkat ke
kota al-Khalil untuk berziarah ke maqam Nabi Ibrahim as.
Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia berangkat menuju Hijaz untuk
melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah ke maqam Rasulullah di
Madinah. Menurut beberapa penulis, setelah ia melaksanakan ibadah haji, ia
berangkat menuju Mesir dan tinggal di Iskandariyah beberapa lama.
Setelah itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara
mengunjungi padepokan-pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud,
asketis, dengan makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi
sedikit bekal serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk
membersihkan jiwa melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh. Penulis
biografinya menulis,”sampai-sampai al-Ghazali menjadi poros (Quthb al-Wujud),
suatu anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap makhluk dan sebagai petunjuk
guna menggapi kepuasan terhadap Allah SWT.
Pada saat Fakhr al-Muluk Jamal as-Shuhada menjdi wazir,
dan menempati istananya, ia mendengar sosok al-Ghazali dan reputasi ilmunya,
khususnya kehandalan dalam penyucian jiwa dan perilaku hidupnya. Maka Fakhr
al-Muluk meminta restu, mengunjunginya, mendengar ceramahnya dan
akhirnya meminta agar dia tidak menyia-nyiakan keistimewaannya tanpa
meninggalkan buah bagi yang lainnya, dan tidak memberikan sinar bagi mereka.
Wazir terus mendesak dan memohon al-Ghazali sampai ia menyetujuinya. Akhirnya
al-Ghazali dibawa ke Nishapur, dan diangkat menjadi professor di
Akademi Maymuna Nizamiyah, setelah tidak dapat mengelak dari
permintaan pemerintah.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 499/1067-7. Al-Ghazali sendiri
sadar bahwa hal ini kehendak Allah yang telah membangkitkan hasrat Fakhr
al-Muluk agar al-Ghazali kembali membenahi keimanan umat Islam. Dia
merasa keinginan mencari kedamaian dan menjauhi hidup keduniaan tidak cukup
kuat untuk dijadikan alasan mengasingkan diri. Lagi pula ia telah berkonsultasi
dengan teman sejawat sufi yang memiliki pandangan ke depan, mereka menganjurkan
agar keluar dari hidup menyendiri dan membenahi aqidah umat Islam. Ditambah
lagi mimpi dari rekan sufinya yang merestui keputusannya. Sebab Tuhan telah
menetapkan awal abad ini sebagai momen yang tepat (500 H). Karena Allah SWT
telah menjanjikan kebangkitan agama pada tiap awal abad, dan al-Ghazali
berharap bahwa inilah tugas yang dibebankan Allah padanya, dengan tekad inilah
dia pergi ke Nishapur.
Al-Ghazali memberikan seluruh petunjuk yang ia peroleh bagi orang lain,
serta memberikan hasil-hasil selama hidup menyendiri. Al-Ghazali biasa bertukar
pikiran dengan muridnya pada malam hari. Ia menceritakan tentang apa yang telah
menimpanya mulai sejak ia memutuskan untuk mengembara menuju Tuhan, hingga ia
pergi belajar tentang sufisme di bawah asuhan al-Farmadhi. Setelah Fakhr
al-Mulukmeninggal, al-Ghazali kembali ke Tus, dan
mendirikan akademi teologi dekat kampung sufi. Pada masa ini sekali lagi ia
diminta oleh wazir al-Said untuk mengajar lagi di Akademi Nizamiyah di Baghdad,
tetapi al-Ghazali menolaknya.
Selama di Tus, al-Ghazali mempergunakan waktunya untuk melayani orang
yang memerlukan di sekelilingnya, mendalami Alquran, mempelajari hadis lagi,
bergaul dengan orang shaleh, mengajar dan beribadah. Sehingga tidak ada waktu
sedikitpun yang tersisa dalam menunggu “cinta” kematiannya. Sampai akhirnya
al-Ghazali meninggal pada hari Senin, 14 Jumada al-Tsani 505 H bertepatan
dengan 18 Desember 1111 M., dalam usia 53 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar