Minggu, 18 Desember 2016

‘’Pengembaraan Intelektual dan Pergolakan Batin menuju kehidupan Sufistik’’


Pada tahun 484 H, saat al-Ghazali berada di puncak kejayaan karirnya, banyak mahasiswa yang mengagumi dan mengikuti kuliahnya, begitu pula para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya. Pada saat itu pula al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah (fisioterapi). Akhirnya ia meninggalkan pekerjaanya dan meminta saudaranya Ahmad untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar dan ia sendiri melakukan perjalanan (pengembaraan) untuk mencari jawaban atas keragu-raguannya yang nanti akhirnya akan membawa beliau menuju kehidupan sufistik.
Keputusan al-Ghazali meninggalkan karir dan menolak semua pengetahuan yang telah dicapainya sangat mengejutkan sekaligus membingungkan setiap orang yang mendengarnya. Al-Ghazali menuangkan semua alasan-alasan keputusannya itu dalam kita Al-Munqîdh min-al-Dhalāl. Di dalam kitab itu, al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan mempelajari sufisme ditemukan jalan menuju Tuhan, yaitu jalan yang tidak sama dengan yang dialaminya selama ini.
Dengan merenungkan kedudukannya di Baghdad, al-Ghazali merasakan adanya belenggu tangannya; Ia menganggap karya terbaiknya yang memuat kajian dan ajarannya tidak mempunyai arti penting ataupun membantu mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab motif yang mendorong di belakang penulisan karyanya itu hanya karena ambisi demi popularitas untuk memperoleh keuntungan sendiri.
Perjalanan pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M (menurut versi lain 489 H/1096 M). Al-Ghazali memasuki kota tersebut dengan berpakaian orang miskin, duduk di depan pintu Khanqah Samisatiyah, akhirnya seorang fakir yang tak dikenal memperkenankan ia masuk. Kemudian al-Ghazali menyibukkan diri dengan membersihkan halaman yang diperuntukkan bagi pengunjung Khanqah tersebut, dan bekerja sebagai pembantu di sana. Di Masjid Umawi ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah Barat sepanjang hari dengan makan dan minum yang terbatas. Menara tersebut sekarang dikenal dengan menara al-Ghazali (Minaret of al-Ghazali). Ia memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah terus-menerus selama dua tahun di Damaskus. Al-Ghazali hidup dengan menjalani hidup asketik menggunakan pakaian yang kasar dan mengurangi makan dan minum, mempergunakan waktunya untuk beribadah. Sedangkan waktu luangnya digunakan untuk berkarya, di sinilah ia menulis karya terbesarnya Ihyā Ulūm al-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Setelah itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya untuk beruzlah dan berzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke maqam Nabi Ibrahim as. Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia berangkat menuju Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah ke maqam Rasulullah di Madinah. Menurut beberapa penulis, setelah ia melaksanakan ibadah haji, ia berangkat menuju Mesir dan tinggal di Iskandariyah beberapa lama.
Setelah itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara mengunjungi padepokan-pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud, asketis, dengan makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi sedikit bekal serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk membersihkan jiwa melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh. Penulis biografinya menulis,”sampai-sampai al-Ghazali menjadi poros (Quthb al-Wujud), suatu anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap makhluk dan sebagai petunjuk guna menggapi kepuasan terhadap Allah SWT.
Pada saat Fakhr al-Muluk Jamal as-Shuhada menjdi wazir, dan menempati istananya, ia mendengar sosok al-Ghazali dan reputasi ilmunya, khususnya kehandalan dalam penyucian jiwa dan perilaku hidupnya. Maka Fakhr al-Muluk meminta restu, mengunjunginya, mendengar ceramahnya dan akhirnya meminta agar dia tidak menyia-nyiakan keistimewaannya tanpa meninggalkan buah bagi yang lainnya, dan tidak memberikan sinar bagi mereka. Wazir terus mendesak dan memohon al-Ghazali sampai ia menyetujuinya. Akhirnya al-Ghazali dibawa ke Nishapur, dan diangkat menjadi professor di Akademi Maymuna Nizamiyah, setelah tidak dapat mengelak dari permintaan pemerintah.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 499/1067-7. Al-Ghazali sendiri sadar bahwa hal ini kehendak Allah yang telah membangkitkan hasrat Fakhr al-Muluk agar al-Ghazali kembali membenahi keimanan umat Islam. Dia merasa keinginan mencari kedamaian dan menjauhi hidup keduniaan tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan mengasingkan diri. Lagi pula ia telah berkonsultasi dengan teman sejawat sufi yang memiliki pandangan ke depan, mereka menganjurkan agar keluar dari hidup menyendiri dan membenahi aqidah umat Islam. Ditambah lagi mimpi dari rekan sufinya yang merestui keputusannya. Sebab Tuhan telah menetapkan awal abad ini sebagai momen yang tepat (500 H). Karena Allah SWT telah menjanjikan kebangkitan agama pada tiap awal abad, dan al-Ghazali berharap bahwa inilah tugas yang dibebankan Allah padanya, dengan tekad inilah dia pergi ke Nishapur.
Al-Ghazali memberikan seluruh petunjuk yang ia peroleh bagi orang lain, serta memberikan hasil-hasil selama hidup menyendiri. Al-Ghazali biasa bertukar pikiran dengan muridnya pada malam hari. Ia menceritakan tentang apa yang telah menimpanya mulai sejak ia memutuskan untuk mengembara menuju Tuhan, hingga ia pergi belajar tentang sufisme di bawah asuhan al-Farmadhi. Setelah Fakhr al-Mulukmeninggal,     al-Ghazali kembali ke Tus, dan mendirikan akademi teologi dekat kampung sufi. Pada masa ini sekali lagi ia diminta oleh wazir al-Said untuk mengajar lagi di Akademi Nizamiyah di Baghdad, tetapi al-Ghazali menolaknya.
Selama di Tus, al-Ghazali mempergunakan waktunya untuk melayani orang yang memerlukan di sekelilingnya, mendalami Alquran, mempelajari hadis lagi, bergaul dengan orang shaleh, mengajar dan beribadah. Sehingga tidak ada waktu sedikitpun yang tersisa dalam menunggu “cinta” kematiannya. Sampai akhirnya al-Ghazali meninggal pada hari Senin, 14 Jumada al-Tsani 505 H bertepatan dengan 18 Desember 1111 M., dalam usia 53 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar