Berbicara tentang filsafat, mungkin yang terbesit di hati sebagian para
mahasiswa sarungan: Filsafat adalah sebuah ilmu warisan ilmuwan Yunani yang
berisikan pemikiran-pemikiran yang penuh dengan kekacauan dan kesesatan.
Setidaknya itu senada dengan sebagian doktrin dari para ulama yang tertuang
dalam catatan klasiknya, sehingga tak sedikit pula doktrin itu meninggalkan
stigma negatif kepada filsafat dihati sebagian orang. Kecenderungan ini kadang mendorong
seseorang untuk menutup mata pada setiap hal yang kemungkinan ada kebenaran di
balik filsafat. Mungkin asumsi ini lahir dari rasa ketidaktahuan dan propaganda
yang ada dilingkungan kita. Memang agak terdengar naïf, menilai sesuatu sebelum
mengetahui substansinya terlebih dulu, hanya dengan dalih “seperti inilah
yang aku jumpai dari pendahuluku”.
Definisi dan Perkembangan
filsafat di tengah islam, Filsafat diambil dari bahasa yunani, dengan
ejaan Philosofi, ia tersusun dari dua kata philos yang berarti
cinta, dan sofia yang berarti kebijaksanaan atau
kearifan, jika di gabungkan maka arti filsafat secara etimologi adalah cinta
kepada kebijaksanaan.Secara istilah; filsafat memiliki beberapa definisi yang
di kemukakan oleh para filosof, namun bisa disimpulkan sebagimana berikut,
filsafat ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara
radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia.
Sedangkan filsafat menurut perspektif islam, para filsuf muslim memaknai
filsafat sebagaimana makna dasarnya, yaitu cinta kearifan (love of wisdom) yang
bertujuan mencari hakikat segala yang ada (Being; wujud) tanpa harus dibatasi
pada usaha rasional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan segala sumber
pengetahuan secara integratif, mulai dari potensi rasional, intuisi dan wahyu.
Keberadaan filsafat ditimur tengah dimulai dari pra islam, yaitu ketika
Aleksander Agung datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Dengan membawa
kekuatan militer dan juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah
kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara
orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian
berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan
timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak
dan Baktra (sekarang Balkh) diIran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan
Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di
Iran. Daerah-daerah ini,dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan
tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan
ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang
Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para
sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama
yang menganut agama Nasrani dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul
satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu
ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan
argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani.
Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu
tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula.
Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal
yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal
yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori
kaum Mu'tazilah. Kemudian pada masa kekuasaan bani abasiyyah, atas perintah
kholifah al ma’mun terjadilah penterjemahaan besar-besaran terhadap beberapa
literature ilmu yunani, tercatat ada Sembilan disiplin ilmu yang dialih
bahasakan kedalam bahasa arab, diantara lain: filsafat, kedokteran, sains, dsb.
Lalu tak lama setelah itu lahirlah filsuf-filsuf muslim, seperti al kindi, al
farabi, ibnu sina, al ghozali, ibnu rusd, dsb.
Corak pemikiran para filosof muslim sangat beragam, seperti Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd yang menganut genre Peripetatik, Suhrawardi dengan genre
Iluminasionistik (Israqi), Mulla Sadra dengan Hikmah Muta'aliyah-nya, sedangkan
Al-Ghazali dengan corak religius-ortodok yang bermuara pada sufistik. Namun
keberagaman ini tetap berada dalam koridor tujuannya, yaitu mencari kearifan
(love of wisdom).
Dalam Islam terdapat istilah hikmah yang diidentifikasikan sebagai
filsafat. Dalam hikmah, kebenaran yang dicari adalah kebenaran tertinggi, yaitu
Tuhan sebagai Yang Maha Benar (al-Haqq). Itulah puncak pencarian kebenaran
sehingga metafisika disebut al-falsafat al-ula, sebagaimana al-Kindi yeng
memberi judul bukunya dengan Fi al-Falsafat al-Ula. Dalam buku ini, Al-Kindi
berbicara tiga komponen filosofis, yaitu filsafat, hikmah dan Haqiqat. Ketiga
komponen tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, sebab ketiganya
memiliki saling keterkaitan untuk membangun pemahaman komprehensif tentang
filsafat Islam.
Kearifan yang dicari itu tidak hanya dalam tataran konseptual, seperti
ditegaskan al-Kindi dalam Fi al-Falsafat al-Ula bahwa filsafat memiliki tujuan
teoretis, yaitu kebenaran, dan tujuan praktis yaitu struktur tindakan sesuai
dengan kebenaran yang diperoleh. Oleh karena itu, kearifan dalam filsafat Islam
tidak hanya sekedar teori belaka, melainkan struktur tindakan yang berbentuk
prilaku dan pola hidup sebagai cermin pribadi seorang filosof.
Namun toh demikian harus diakui bahwa isu filsafat didalam islam banyak sekali
menuai perdebatan dan perbedaan diantara para ilmuwan islam, sebagaimana kritik
keras yang dilancarkan oleh al ghozali terhadap para filsuf yang lain.
Perspektif Al-Ghazali terhadap Filsafat :
Mengenai pandangan Al-Ghazali terhadap filsafat, tercatat ada tiga kitab
yang menjadi representative pandangan beliau, yaitu: Maqosidul
falasifah, Tahafutul falasifah, Al Munqid minadholal.
Dibawah ini, sedikit cuplikan dari ketiga kitab beliau, mungkin bisa
menggambarkan corak pemikiran beliau:
v
Maqosidul falasifah: ini merupakan kitab pertama al-ghazali dalam bidang filsafat,
disana beliau kemukakan kesimpulan dari hasil kajiannya terhadap ilmu filsafat
yang di pelajarinya secara otodidak. Beliau menjelasakan ilmu filsafat secara
garis besar tanpa melihat pada sisi positif dan negatifnya, beliau mengakui
bahwa tujuan menyusun kitab ini adalah menggambarkan hakikat pemikiran filsafat
yang kerap membingungkan sebagaian pelajar islam.
Di dalam kitab ini beliau membagi cabang ilmu filsafat
menjadi empat tema utama : Ilmu riyadliyah (ilmu
mathematics), Ilmu mantiqiyyah (ilmu logis), Ilmu
thobi’iyyah (ilmu fisika), Ilmu ilahiyyat (ilmu
metafisika). Beliau menambahkan dari empat tema ini, dua tema yang
pertama secara garis besar tidak menyalahi prosedur agama (mathematics &
mantiq). Dan yang kedua: (fisika & metafisika) banyak sekali terdapat
kesalahan dan kesesatan, yang akan beliau jelaskan secara khusus dalam kitab
tahafutul falasifah.
v
Tahafutul falasifah: Sebagaimana yang telah beliau isaratkan sebelumnya, didalam kitab ini
beliau menjelaskan kesalahan dan kerancuan pemikiran filsafat, disertai dengan
bantahannya. Tak lupa beliau juga mengkritik tajam para filosof, beliau
berkata: ”sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan
nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan
lain-lainnya, mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu
para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi, mereka
mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama,
tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa
agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan”.
Kemudian beliau
menyampaikan letak kesalahan para filsuf Dalam bidang metafisika dan fisika,
al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan sesat. Setidaknya
ada 20 kesalahan yang dilakukan oleh filosof yang beliau kemukakan. Namun
secara garis besar, menurut beliau ada 3 kesalahan terbesar yang dilakukan para
filosof:
·
Mengatakan Alam semesta dan semua
substansinya qadim.
·
Mengatakan Tuhan tidak mengetahui
juz’iyyat (partical) yang terjadi di alam semesta ini.
·
Mengingkari pembangkitan jasmani, dan
meyakini bahwa yang dibangkitakan hanya ruh.
Disini akan kami
cuplik satu poin saja dari 3 kesalahan diatas, argument para filsuf berikut
bantahan al ghazali: Alam semesta dan
semua substansi qadim
Terjadi perbedaan diantara para filsuf mengenai ke Qodiman alam,
namun mayoritas mereka mengatakan mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada
sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman,
seperti pancaran sinar matahari ada bersamaan dengan terbitnya matahari.
Pendapat para filsuf ini berangkat
dari ideologi mereka yang mengatakan mustahil wujudnya hadis keluar
dari dzat yang qodim mutlaq, dengan penalaran sebagaimana berikut: jika
kita gambarkan adanya qodim (allah) namun alam semesta ini belum tercpita,
karena saat itu belum ada murojjih (factor) untuk menciptakan alam, dan
keberadaan alam ini masih berstatus imkan wujud, maka
setelah alam ini tercipta akan timbul pertanyaan, kenapa baru diciptakan sekarang?
Tidak mungkin dikatakan karena sebelumnya tidak mampu, atau tidak ada
materinya, kerena ini sangat mustahil bila kita nisbatkan kepada allah. Atau
paling dekat dikatakan, karena sebelumnya allah belum mengIrodahkan
untuk menciptakan alam, ini juga tidak mungkin, karena secara tidak langsung
mengatakan iradahnya allah itu hadis, padahal
allah munazzahun min sifatil hawadis. Sehingga kesimpalanya menurut
para filsuf, alam semesta ini qodim.
Kemudian al-Ghazali membantah argumen filosof itu. Beliau katakan; tidak
ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya
yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam
sebelumnya karena memang iradohnya allah yang qodim, menghendaki wujudnya alam
pada waktu telah ditentukan, dan akan terus berlangsung sampai batas waktu yang
telah ditentukan.
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa
alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan
adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan
sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual.
”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia
bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk
yang Dia kehendaki”. Itulah sedikit cuplikan bantahan al-Ghazali didalam At
tahatul falasifah.
Namun menurut dr. sulaiman dunnya, dua kitab diatas tidak bisa dijadikan
sebagai patokan yang mewakili pandangan al-Ghazali terhadap filsafat, kerana
pada saat itu al-ghazali dalam masa kegaluan dan keraguannya terhadap semua
ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai yang beliau ungkapkan sendiri didalam al
munqid min dholal: “Sungguh terwujud sabda nabi ini sampai aku tak tau mana
yang selamat diantara golongan itu, sejak dini sampai usiaku mendekati 50 tak
henti-hentinya aku mencari kebenaran diantara golongan itu. Aku selami samudra
yang dalam itu dengan jiwa pemberani, aku dalami setiap pendapat yang
menyimpang, aku terjuni setiap ke musykilan, aku analisis ideologi setiap
golongan, agar aku bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, mana yang
sesuai sunnah dan mana yang ahli bid’ah. Semua itu aku lakukan tak lain karena
ingin mengetahui hakekat setiap disiplin ilmu,
hingga akhirnya pencarian itu telah sampai pada ujungnnya,
aku menemukan ilmu secara yakin dan kokoh tak runtuh di hantam oleh
kesubhatan .
Dari pernyataan beliau ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada saat beliau
menyusun dua kitab diatas, beliau masih dalam kondisi ragu dan bimbang.
Al munqid minadholal: Para pakar mengatakan: ini merupakan
kitab terahir yang di susun oleh al-Ghazali, berisikan pandangan akhir
al-Ghazali atas analisanya terhadap seluruh pengetahuan yang ia pelajari selama
ini. Disini ia tidak hanya mengupas kerancuan filsafat dalam bidang metafisika
dan fisika, namun juga mengkritik kesalahkaprahan yang terjadi di
dunia pendidikan islam kala itu. menurut beliau: Rumus dan teori
filsafat secara umum ada yang tercela dan ada yang tidak, ada yang menyebabkan
kekufuran dan ada yang tidak, ada yang dianggap bid’ah ada yang tidak. Ada pula
pendapat filsuf yang mereka adopsi dari ajaran islam, ada juga pendapat yang
tercampur antara yang haq dan bathil.Kemudian beliau membagi filsuf
menjadi tiga golongan:
1) Ad-dahriyyun (Materialis):
Mereka tak percaya pada adanya tuhan, sementara itu alam semesta ini ada
semenjak dulu tanpa ada pencpitanya. Pemikiran ini cenderung pada atheisme.
2) At-thobi’iyyun (fisikawan):
Mereka lebih cenderung untuk menganalisa tabiat alam, baik flora maupun
fauna. Membedah proses hidup seekor hayawan. Disini mereka mengetahui kebesaran
cipta’an allah SWT., karena mereka menyadari bahwa dibalik eksistensi alam dan
seisinya pasti tak lepas dari kekuasan dzat yang menciptkannya. Namun rumus dn
teorinya banyak yang tercampur dengan kesesatan. Golongan ini lebih mendekati
pada kebenaran dari pada kelompok sebelumnya, hanya saja golongan ini
berpendapat bahwa ruh yang sudah keluar dari jasad manusia tak bisa kembali
lagi, sehingga mereka mempercayai kelak yang dibangkitakan dari kubur, yang
masuk neraka atau surga, tak lain adalah ruhnya saja. Ini tentu mnyimpang
dengan kepercayaan kita.
3) Al-Ilahiyyun (metafisikawan):
Mereka seperti sacrote, plato, dan muridnya yang bernama aristoteles, ialah
yang menyusun dasar-dasar ilmu mantiq, dan merumus ulang konsepsi ilmu filsafat
yang diterima dari pendahulunya, golongan ini secara umum menentang kelompok
sebelumnya. Tak hanya itu, aristoteles juga membantah pemikiran pendahulunya,
plato dan sacrote. hanya saja aristoteles masih belum entas dari jurang
kesesatan, maka wajib menyematkan kata sesat kepadanya dan orang yang mengikuti
pemikiranya (ibnu sina dan al farabi).
Secara garis besar, beliau menyimpulkan pemikiran aristoteles terbagi
menjadi tiga, pertama: sesuatu bisa menyebabkan kekufuran, dua : sesuatu yang
dianggap kebid’ahan, tiga: sesuatu yang tidak perlu di ingkari, tidak sesat.
Disini beliau juga membagi objek ilmu filsafat menjadi enam tema :
1) Ariyadyiah (matematic):
ilmu yang membahas tentang hitungan pasti, matematika, geomatri dan astronomi,
Tidak ada kaitan apapun dengan agama. Ia hanya merupakan bukti-bukti empiris
yang tidak bisa dingkari. Seperti perputaran matahari pada porosnya tak akan
luput.
2) Mantiqiyyah (silogisme):
ilmu ini tak ada kaitanya juga dengan agama, ia hanya sekedar metodologi dalam
memahami dalil, atau merumuskan sebuah konklusi. Ilmu ini tak menyimpang dari
koridor agama, bahkan banyak para ahli kalam menggunakan konsep dalam ilmu ini
meskipun toh ada perbedaan dalam pengguanaan istilah.
3) At-thobbi’iyah (fisika):
sebagai mana yang dijelaskan, ilmu ini menganalisa tabiat alam dan isinya.
mulai dari keberdaan langit bintang dan segala makhluq yang ada di atas muka
bumi ini. Tidak semua rumus yang ada di ilmu fisika menyalahi ajaran agama, dan
keterangan secara spesifiknya telah beliau jelaskan didalam kitab At tahafutl
falasifah. Namun secara garis besar menurut beliau: eksistensi alam semesta ini
tak luput dari iradah allah sebagai otoritas mutlak. Ini sedikit berbeda dengan
yang dipahami para filsuf yunani.
4) Al-ilahiyyah (metafisika):
Disini banyak sekali kesalahan para filsuf, seabagaiamana yang telah dijelaskan
dalam kitab beliau at tahaft, ada 20 kesalahan yang dilakukan oleh filsuf,
namun ada tiga permaslahan yang menjadi poin mendasarnya.
5) As-siyasiyyah (administrasi):
semua pendapatnya kembali pada kearifan lingkungan, sosial masyarakat,manageman
dalam negara, dsb.. menurut beliau ilmu as siyasiyah ini merujuk pada kitab
samawiyyah dan sabda anbiya’.
6) Al-khuluqiyyah (etika):
semua pendapatnya berkutat pada penjelasan sifat terpuji dan budi pekerti, cara
memperbaiki akhlaq, dsb. Beliau katakan: ilmu ini banyak mengadopsi perkataan
kaum sufisme, sabda anbiya’. Lalu memadukannya dengan metode filsafat
mereka.
Dari sedikit kajian diatas, bisa kita simpulkan bahwa tak semua ilmu
filsafat itu salah bahkan sesat, terbukti al-Ghazali sendiri tidak menolak
selain metafisika dan fisika. Setidaknya ini bisa menjadi langkah tepat bagi
kita, agar kita tidak cepat menilai sesuatu sebelum mengetahui substansi setiap
masalah. Disamping itu pula, jika kita tak tau akan substansinya, tak menutup
kemungkinan kita malah bisa jatuh kedalam kesesatan tanpa kita sadari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar