Para filosof muslim di kala itu
mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya
dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan
tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak
mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan),
karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu
sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut
al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak
pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh
Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada
dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan
ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap
alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak
qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada,
kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
Al-Ghazali
juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan
apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim
pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi
Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan
tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya,
harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata
para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai
iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama.
Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah
yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu
tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah
titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai
wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip
Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia
bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk
yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya
perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah
perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof
Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu
kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang
terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi
asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal
ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman.
Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam
dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini
sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu
alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan
alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim.
Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi
ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut
ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis
pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat
berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang
direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang di dapatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar