Menurut pandangan idealisme,
nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik, atau tidak
cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada
hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan
bagian dari alam semesta.
Plato mengemukakan bahwa
kehidupan yang baik hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang baik dan ideal
yang diperintah oleh “the Philopher Kings , yaitu kaum intelektual, para
ilmuwan atau cendekiawan (Kneller, 1971:33). Dia juga mengemukakan bahwa jika
manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, mereka tidak akan
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral. Kejahatan terjadi karena orang
tidak tahu bahwa perbuatan tersebut jahat. Jika seseorang menemukan sesuatu
yang benar, maka orang tersebut akan berbuat salah. Namun yang menjadi masalah
adalah bagaimana hal itu dapat dilakukan jika manusia memiliki pandangan yang
sangat berbeda dalam pikirannya tentang hidup yang baik (Sadulloh, 2007:99).
Sedangkan
Penganut aliran
realisme sependapat dengan penganut idealis bahwa nilai yang mendasar adalah
pada dasarnya permanen, tapi mereka berbeda diantara mereka sendiri dan alasan
mereka. Realis klasik penedapat dengan Aristoteles bahwa ada undang-undang
moral universal, tersedia untuk berbagai alasan dan mengikat pada seluruh
rasional manusia. Realistsepakat
bahwa guru harus menjadi bagian dalam merumuskan nilai-nilai tertentu. Moral
dasar dan standar keindahan yang diajarkan pada siswa yang tidak berdampak pada
isu terkini. Anak-anak harus memahami secara jelas mengenai sifat dasar
kebenaran dan salah, memberikan perhatian pada tujuan yang baik dan indah
berdasarkan pada perubahan moral dan keindahan mode.
Menurut aliran Pragmatis, nilai
adalah relatif. Etika dan moral tidaklah permanen tapi selalu berubah seperti
halnya budaya dan perubahan masyarakat. Hal ini bukanlah untuk mengklaim bahwa
nilai moral harus berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Pemahaman eksistensialisme
terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan
atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi
untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang
paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima
akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selelsai,
karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.
Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga
untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya
sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia
harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuannya
sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam
situasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar