Pengaruh al-Ghazali sangat luas, kuliah-kuliah dan karya-karyanya
diterima secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran al-Ghazali terkenal di
kalangan komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur dan di Barat.
Meskipun sudah hampir seribu tahun al-Ghazali meninggal, namun ilmunya, dan
tetesan kalam buah penanya mengekal abadi. Karya-karyanya berpengaruh karena
diperlukan dan ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.
Tokoh al-Ghazali menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan
pemikiran Islam karena kedalaman ilmunya, keorisinilan pemikirannya, dan
kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Dia ahli agama, pendidikan dan hukum
Islam, selain itu juga memiliki ilmu yang luas tentang filsafat, tasawuf,
akhlak, dan masalah kejiwaan serta spiritualitas Islam. Di belahan timur dunia
Islam ia amat berpengaruh bagi masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses
dalam memimpin mereka, sedangkan di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil.
Sampai sekarang pengaruh al-Ghazali masih terus ada di seluruh dunia Islam.
Di Timur al-Ghazali mendapat sukses di bidang pembaharuan mental dan
spiritual umat, sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting
dalam Islam. Bukunya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn adanya bukti dari
adanya usaha tersebut. Pada waktu itu juga, ia berjasa dalam membela agama
Islam dan umatnya dari pengaruh negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu Kalam,
dan aliran kebatinan. Melalui pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan
masyarakat Islam, dari pemujaan akal atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah
swt., yaitu dalam arti hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga
kebahagiaan dapat dicapai.
Di belahan barat dunia Islam, tulisan al-Ghazali tidak saja mempengaruhi
pemikir Islam seperti Ibn Rusyd, tetapi juga mempengaruhi para pemikir
Kristen dan Yahudi seperti Thomas Aquinas dan Blaise Puscal, dan filsuf-filsuf
Barat lainnya, sebagaimana diakui oleh Asim Palaeros, yang memiliki banyak
persamaan pendirian dengan al-Ghazali, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama
tidak diperoleh dari akal pikiran tetapi harus hati dan rasa.
Ketidakgentarannya dalam mencari kebenaran melalui kegandrungannya pada
ajaran-ajaran tasawuf banyak pula mendatangkan kritikan dan pertentangan di
kalangan Mutakallimin, baik ketika al-Ghazali masih hidup maupun setelah
meninggal. Di Andalusia, seorang Qadhi dari Cordoba, Abu Abdullah Muhammad bin
Hamdin, menyalahkan karangan-karangan al-Ghazali. Para Qadhi di Spanyol pada
umumnya menerima pengutukan itu, hasilnya seluruh karya-karya al-Ghazali
dibakar. Masyarakat dilarang memiliki karya-karya al-Ghazali dengan ancaman
sangsi hukuman mati. Termasuk di dalamnya kitab Ihyā ‘Ulūm al-Dîn.
Karya-karya al-Ghazali pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara.
Sultan Marakash, Ali bin Yusuf bin Tashfin, pemimpin pada daerah tersebut
adalah seorang yang berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah
agama.
Ia menerima saran dari ulama ortodoks yang
memiliki otoritas pada masa itu. Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki dan menganggap
bahwa filsafat dan teologi keduanya dapat merusak keyakinan, aqidah yang benar.
Oleh karena itu, ia melarang beredarnya buku-buku al-Ghazali dan mengeluarkan
perintah agar membakar seluruh karya al-Ghazali.
Pengeritik lainnya adalah Ibnu Rusyd, salah seorang filosof Spanyol. Ia
menganggap al-Ghazali tidak konsisten dalam doktrin emanasi, ia juga mengeritik
karya-karya al-Ghazali khususnya kitab Tahāfut al-Falāsifah dengan
mengarang kitab Tahāfut al- Tahāfut. Dia menganggap bahwa ajaran
al-Ghazali kadang-kadang merusak syari’ah, terkadang merusak filsafat,
terkadang merusak keduanya, namun juga menguntungkan keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar