Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah
bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah
dari "berpikir ". Berpikir (atau natiqiyyah)
adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang
memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan
sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari
spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini
tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin
diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan
dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu
benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana
sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika
manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat
dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah
itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari
sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh
karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi
sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya
menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga
pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan
manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap
penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu
sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu
menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi
objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini
dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al
ma'rifah). Epistemologi
menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad
yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian
tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa
pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus
seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht",Muhammad Baqir
Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli
dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani
dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan
tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan
mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini,
karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami
ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang
merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan
Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan
dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari
runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama
Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia
(baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang
bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar
aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan
empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul
Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah
Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James
dengan Pragmatismenya, Francis Bacon denganSensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi
ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan
seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan
ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama
yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung.
Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina,
al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya.
Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan
ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah
di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan
"shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali
menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga)
Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama,
kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya,
dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih
untuk disebut pecinta pengetahuan.Kedua, pada waktu itu, di Yunani
terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis).
Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah
benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil
tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya
mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar
belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis.
Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada
manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis.
Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski
dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai
sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian
perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh
Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang
kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian
yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1)
ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan
methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa
rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui
semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar